Selasa, 02 Oktober 2007

IDE KONTRAK SOSIAL, AKAD POLITIK DAN APLIKASINYA

‘INDONESIAN INSTITUTE FOR COMPETENCE’ (IIC)

Lembaga Kompetensi Indonesia (LKI)

Dewan Pendiri: Nanang Surakhman Pujalaksana, Syafuan Rozi Soebhan, Ahmad Dharsono


LATAR BELAKANG

Dalam era global diperlukan kesiapan lebih dalam membina keahlian dan profesionalitas individu dan kecerdasan masyarakat agar bangsa ini bisa penuh percaya diri dalam melangkah ke depan. Pembentukan sikap yang menghargai waktu, berfikir positif, proaktif, peka terhadap tuntutan perubahan dan peduli lingkungan, sekaligus mampu berkreasi secara maksimal dalam semua aspek kehidupan masih terus perlu dipupuk bersama. Dengan kesadaran berlembaga dan membangun pelembagaan, manusia Indonesia akan mampu merawat apa yang sudah baik, cerdas membuat peluang baru dan akurat dalam memberikan pemecahan persoalan bangsa maupun kemanusiaan.

Bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari warga dunia, posisinya sangat strategis karena jumlah penduduknya yang besar, maupun luas wilayahnya. Namun masih banyak yang terbengkalai, salah urus dan belum berorientasi ke kesejahteraan publik yang sebenarnya. Untuk itu SDM kita perlu dibekali dengan kompetensi plus motivasi kemajuan agar cepat dan terakselerasi dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya yang melimpah ruah untuk didayagunakan secara optimal dan rasional komprehensip merangkul dan menyantuni semua.

Namun apa yang terjadi dalam dekade ini masih jauh dari harapan, selama hampir 62 tahun Merdeka, bangsa Indonesia masih terpuruk berkubang duka kemiskinan dan tidak kunjung beranjak dari tekanan ekonomi sehingga jumlah penduduk 49% kategori miskin dibawah penghasilan 2 dollar Amaerika Serikat per hari. Kondisi ini diperlukan komitmen moral dan tekad serta kerja keras semua pihak baik pemerintah, masyarakat, dan para pengusaha untuk mengangkat derajat kehidupan yang lebih baik, sejahtera, adil dan bermutu, sehingga akan dicapai ketahanan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat.

Dalam pada itu kami sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai modal pengetahuan dan spirit untuk turut serta dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia mengulurkan tangan persahabatan dan kerja sama dengan semua elemen negara dan civil-society.

Potensi sumberdaya manusia (manware) merupakan modal strategis yang perlu dirangkul dan dicerdaskan untuk mampu mengelola berbagai sumberdaya lainya seperti perangkat keras (hardware) berupa barang dan teknologi serta perangkat lunak (software) berupa jasa, informasi, pengetahuan terapan. Banyak kelompok-kelompok masyarakat yang telah berpartisipasi dan bergerak dibidang Perseroan Terbatas, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perhimpunan, atau Yayasan maupun bentuk lainnya.

Mereka semua telah banyak bergerak diberbagai bidang tersebut, tetapi dalam beberapa hal masih perlu dikondisikan untuk mampu memenuhi kebutuhan pelanggan yang permintaannya terus meningkat, baik jumlahnya maupun kualitas produknya. Kondisi ini bila disepelekan akan menyebabkan berbagai ketinggalan baik dibidang ketrampilan dan pengetahuan maupun teknologi yang berkembang cepat, sehingga tidak siap dalam menghadapi persaingan bebas Asia Pasific pada tahun 2015.

Untuk itu kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang peduli dan terpanggil untuk mengisi arena publik guna memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut. Kami memilih fokus tersendiri yang berorientasi terhadap ‘standar kompetensi sebagai dasar standar kualitas’ terhadap semua produk baik berupa barang, jasa, informasi dan mendorong terbangunnya inovasi pemecahan masalah dan peningkatan kualitas kehidupan yang merupakan keluaran dari lembaga ini. Oleh sebab itu, lembaga ini kami namakan ‘INDONESIAN INSTITUTE FOR COMPETENCE’ (IIC).

VISI LEMBAGA

MEWUJUDKAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA YANG BERKOMPETEN DI BIDANGNYA GUNA MEMBENTUK WATAK PROFESIONAL YANG PERCAYA DIRI DAN MANDIRI DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL.

MISI LEMBAGA:

1. Membangun kualitas SDM yang berkompeten dibidang profesi dan fokus kerja yang diminatinya;

2. Melaksanakan pelatihan dan penelitian ilmu pengetahuan terapan (riset dan inovasi), gaya kepemimpinan yang merangkul dan menyantuni semua (egaliterian leadership);

3. Menciptakan iklim keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai bidang kompetensi kerja dan profesinya.

4. Membangun jaringan kerja dengan institusi atau profesi yang bergerak dibidang kompetensi kerja dan profesinya;

5. Bekerjasama dengan Pemerintah dan Pengusaha untuk mendukung program pelatihan kompetensi;

6. Bekerjasama dengan negara-negara yang menerapkan standar kompetensi kerja dan profesinya;

7. Menjalin kemitraan sinergi dengan organisasi donor luar negeri dan stakeholders di bidang kompetensi kerja dan profesinya.

MOTTO: BEST DELIVERY ON RESEARCH INOVATION AND TRAINING SPECIALIST.

Maknanya adalah tekad kami untuk:

1. MEMBERIKAN KEPUASAN PELANGGAN YANG TERBAIK DALAM RISET, INOVASI DAN PELATIHAN

2. MEMBANGUN KERCAYAAN DIRI UNTUK MANDIRI DAN SIAP BERSAING.

3. SIAP MEMBERIKAN KEPUASAN PELANGGAN YANG PALING UTAMA.

4. MELAYANI PELANGGAN DENGAN SMART YAITU: SENYUM, MENYAPA, AMAN, RASIONAL DAN TERUKUR.

PARTISIPASI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN PELANGGAN:

1. Divisi Pelatihan dan Analist Konsultasi:

Membidangi pelatihan yang berkaitan dengan manajemen terapan, analisis pengelolaan peluang dan resiko, pengembangan bisnis yang kreatif, tanggung jawab lembaga, menejemen perubahan, pengarusutamaan gender, pelembagaan demokrasi, inovasi pemerintahan, political-marketing, bina peradaban politik.

2. Divisi Research and Inovation:

Membidangi penelitian dan pengkajian berbagai hal yang berkaitan dengan kebutuhan pelanggan dan merancang inovasi baik gagasan, jasa maupun produk untuk menjawab kebutuhan dan permasalahan yang mengemuka. Kami bergerak di bidang penelitian sosial-politik-multikultural-teknologi-ekonomi manajemen dan pengelolaan lingkungan.

Melakanakan seminar-seminar, workshop yang membahas pengetahuan dan adopsi kebijakan baru serta mencari solusi-solusi alternatif.

3. Divisi Organizer:

Membidangi jasa: untuk melaksanakan seminar, rapat-rapat, workshop, rapat kerja lokal, nasional, regional, dan internasional.

4. Divisi Konsultan Manajemen:

Membidangi: konsultasi, edukasi, dan pengkajian manajemen yang mengarah pada Inovasi baru dalam lembaga pemerintah, perbankan, perusahaan dan lain-lain.

5. Divisi Kepemimpinan bisnis, politik, pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan:

Membidangi pengkajian dan pengembangan kepemimpinan bisnis, politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan.

PENGORGANISASIAN:

1. Dewan Pakar: Profesional dan Kolegial.

2. Dewan Penyantun: Donatur, Kontributor, Direksi dan Pemegang saham.

3. Direktur Utama: Nanang Surahman Pujalaksana, MA (Dipilih dari direksi)

a. Direktur bidang Research & Inovation: Syafuan Rozi, SIP, M.SI

b. Direktur bidang Training & Counsult.: Drs. Sudarsono M.Si
4.
Treasurer & General Managing Director : Juventus Pohan, MBA
5. Project Trainers & Linkers Manager : Ida, Dewi
6.
Members Associates: Firman Noor, MA; Synthia A. Sari, ME

7. Staf : Adm dan Komputer.

earch Inovation and Training Specialist

Kiat Berpartisipasi dalam Pembahasan RUU di DPR dan DPD

Oleh : Rani Febrianti dan Ronald Rofiandri

A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Ke mana saja kita dapat menyampaikan gagasan kita?
1. Anggota DPR dari Komisi atau Pansus atau Panja yang membahas
2. Badan Legislasi DPR
3. Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR
4. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI)
5. Fraksi-fraksi

Pilihan untuk menentukan kepada badan mana gagasan kita ingin disampaikan, sebenarnya tergantung pada RUU apa yang anda akan advokasikan/pantau dan sampai pada tahap mana RUU tersebut dibahas. Untuk RUU yang sudah masuk tahap pembahasan, akan lebih efektif apabila gagasan kita disampaikan kepada anggota DPR yang membahas RUU tersebut. Namun gagasan pada tahap awal, misalnya topik RUU tertentu atau Rancangan Akademik RUU atau naskah RUU tertentu, bisa juga disampaikan kepada kelima lembaga di atas.

Forum apa saja yang dapat kita gunakan?

Penyampaian melalui hearing/diskusi ataupun dalam rapat

1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
Forum ini adalah forum resmi yang ada dalam proses pembahasan sebuah RUU. Forum ini diadakan pada saat pembahasan tingkat I RUU, yaitu setelah adanya pemandangan umum fraksi atas RUU atau pemandangan umum pemerintah atas RUU dari DPR.

Untuk dapat terlibat dalam forum ini, cara-cara yang harus kita tempuh adalah:

  1. Identifikasi terlebih dahulu, sudah sampai tingkat mana pembahasan RUU. (Lihat “Bagaimana Undang-Undang Dibuat”)
  2. Kirimkan surat kepada ke sekretariat Komisi/Pansus yang membahas RUU. (Lihat “Komisi dan Mitra Kerjanya”)
  3. Sebutkan maksud dan tujuan untuk meminta adanya RDPU tersebut.
  4. Pastikan kita memiliki bahan yang siap dibagikan dalam RDPU tersebut, agar pembahasannya bisa fokus.
  5. Pantau terus perkembangan dari gagasan kita dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.

2. Audiensi atau hearing dengan fraksi-fraksi
Forum ini lebih fleksibel, artinya tidak ada waktu yang terjadualkan sehingga kita dapat melakukan kapan saja sepanjang proses pembahasan RUU itu berlangsung. Sulitnya, penjadualan dan kesediaan fraksi untuk bertemu dengan kita sepenuhnya tergantung pada kemauan fraksi tersebut. Namun, hal ini bisa diatasi dengan menyampaikan surat permohonan dengan maksud, tujuan, serta identifikasi institusi/individu yang jelas, dan ditindaklanjuti melalui hubungan telepon secara intensif.

Bagimana caranya:
Hearing dengan fraksi dapat lebih mudah jika kita mengenal salah satu anggota dari fraksi yang bersangkutan. Kalaupun tidak, kita dapat memintanya ke sekretariat fraksi. Tentukan alasan serta tawaran waktu untuk bertemu untuk memudahkan fraksi/sekretariat fraksi menyusun jadual. Jangan lupa cantumkan identifikasi institusi/individu dengan jelas serta nomor telepon yang dapat dihubungi agar komunikasi penentuan jadual dapat lebih mudah terjadi.

3. Konsultasi Publik
DPR kadang-kadang melakukan mekanisme konsultasi publik (sosialisasi) untuk RUU banyak mendapatkan sorotan. Konsultasi publik (sosialisasi) biasanya dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia .

Bagaimana anda dapat berpartisipasi?

  1. Mintalah informasi kepada sekretariat Komisi/Pansus mengenai kapan dan di mana saja konsultasi publik akan diadakan, serta organisasi yang menjadi mitra lokal DPR.
  2. Jika kota anda termasuk yang akan dikunjungi, mintalah kepada penyelenggara lokal untuk mengundang anda dalam forum tersebut.
  3. Jika informasi tentang mitra lokal tidak juga didapatkan, anda dapat menghubungi pemerintah daerah setempat ataupun universitas negeri di kota anda, karena Sekretariat DPR biasanya bekerja sama dengan pemerintah daerah atau dengan perguruan tinggi di kota tersebut.
  4. Datanglah dengan membawa usulan secara tertulis. Selain mempermudah untuk dipelajari, juga berjaga-jaga jika anda tidak sempat menyampaikan usulan secara lisan/ langsung dalam forum tersebut.
  5. Mintalah hasil konsultasi publik tersebut dan pantaulah perkembangan usulan anda di pembahasan RUU tersebut selanjutnya.

4. Hearing dengan Badan Legislasi
Badan Legislasi DPR saat ini menjadi badan yang cukup berpengaruh dalam proses legislasi DPR. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dengan Badan Legislasi DPR.
a. Memasukkan naskah usulan anda untuk dijadikan RUU usul inisiatif DPR
b. Memberikan masukan atas suatu naskah RUU yang sedang dibahas

Di samping forum-forum di atas, setiap saat anda juga dapat memberikan masukan anda kepada Sekretariat Jenderal DPR RI terutama pada Deputi Bidang Perundang-undangan.

Berikut badan yang dapat anda hubungi di DPR

Badan Legislasi DPR
Ketua : FX. Soekarno
Telepon : (021) 5756040, (021) 5756041
Faks : (021) 5756379

Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) DPR
Ketua : Untung Jumadi
Telepon : (021) 5715409, 5715385
Faks : (021) 5756068

Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR
Ketua : H. R. Sartono, SH, Msi
Telpon : (021) 5715738, 5844961
Faks : (021) 5715738

B. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Ke mana kita dapat menyampaikan gagasan kita?
1. Anggota DPD
2. PAH/Tim Kerja yang mengusulkan, membahas atau mempertimbangkan Usul RUU yang menjadi wewenang DPD.
3. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
4. Sekretariat Jenderal DPD
5. Sekretariat Daerah
6. Sekretariat DPRD

Pilihan untuk menentukan kepada badan mana gagasan kita ingin disampaikan, sebenarnya tergantung pada RUU apa yang anda akan advokasikan/pantau dan sampai pada tahap mana RUU tersebut dibahas. Untuk RUU yang sudah masuk tahap pembahasan, akan lebih efektif apabila gagasan kita disampaikan kepada anggota DPD yang membahas RUU tersebut. Namun gagasan pada tahap awal, misalnya topik RUU tertentu atau Rancangan Akademik RUU atau naskah RUU tertentu, bisa juga disampaikan kepada kelima lembaga di atas.

Forum apa saja yang dapat kita gunakan?

A. Melalui Hearing dan Rapat

1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Ad-Hoc (PAH) atau Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU).
Forum ini dilaksanakan oleh PAH dan PPUU kapan saja di dalam atau di luar waktu pembahasan Usul RUU dan Usul Pembentukan RUU. RDPU bisa dilaksanakan atas permintaan dari PAH, PPUU atau atas permintaan pihak lain.

Caranya:

  1. Pastikan bahwa Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU berada dalam lingkup kewenangan DPD.
  2. Kirimkan surat kepada Sekretariat PAH yang mengusulkan, membahas atau mempertimbangkan suatu Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU atau kepada Sekretariat PPUU.
  3. Jika anda berada di daerah, maka anda bisa melayangkan surat anda kepada Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD, untuk meminta diadakan RDPU atas suatu Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.
  4. Sebutkan maksud dan tujuan anda untuk meminta adanya RDPU tersebut.
  5. Pastikan anda memiliki bahan yang siap dibagikan dalam RDPU tersebut, agar pembahasannya bisa fokus.
  6. Untuk akuntabilitas, anda bisa memantau perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang anggota DPD sekali setahun di daerah pemilihan dalam hal ini dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD

2. Hearing dengan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
Forum ini dapat dilakukan kapan saja selama di dalam atau di luar waktu pembahasan suatu Usulan RUU. Waktunya bisa pada saat masa sidang atau pada saat PPUU mengunjungi daerah dalam kunjungan kerja dalam suatu masa sidang. Caranya anda bisa menghubungi Sekretariat PPUU untuk bertemu disertai alasan dan maksud yang jelas.

Anda dapat memasukkan draf Usulan RUU kepada PPUU untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, dan anda juga dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.

3. Hearing dengan Anggota DPD yang merupakan anggota PAH yang mengusulkan dan membahas Usul Pembentukan RUU atau Usul RUU
Forum ini juga bisa dilaksanakan kapan saja, di dalam atau di luar masa pembahasan suatu Usulan RUU atau pada saat kunjungan kerja anggota DPD ke daerah atau pada saat Anggota DPD melakukan kegiatan kerja di daerah masing-masing. Forum ini bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah, di mana hasil dari kunjungan kerja dan kegiatan anggota DPD di daerah akan dilaporkan kepada semua alat kelengkapan DPD.

Anda dapat menghubungi sekretariat masing-masing PAH. Jika anda berdomisili di luar Jakarta anda bisa menghubungi Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD setempat untuk meminta bertemu dengan disertai alasan yang jelas dan tawaran waktu bertemu.

Anda dapat memasukkan draf Usulan RUU kepada Anggota DPD untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, serta anda dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.

B. Melalui Surat
Setiap waktu anda bisa mengirimkan saran, kritik, dan masukan kepada anggota DPD melalui Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD di daerah masing-masing. Semua masukan dan kritikan akan disampaikan kepada anggota DPD pada saat kunjungan kerja.

Caranya
Kirimkan surat langsung yang dapat berisi usulan RUU, pertimbangan atas suatu RUU yang berada dalam lingkup kewenangan DPD kepada Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD.

Daftar Kontak:
1. Sekretaris Jenderal DPD
Ketua : Dr. Ir. Siti Nurbaya MSc
Telepon : (021) 5710203
Faks : (021) 57897443

2. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
Ketua : I Wayan Sudhirta, SH
Wakil Ketua : Intsiawati Ayus, SH, MH
Wakil Ketua : H.L Abdul Muhyi Abidin, A.Ag.
Telepon : (021) 57897330, (021) 57897243
Faks : (021) 57900741
Email : ppuu_dpd@yahoo.com (ppuu underscore dpd at yahoo dot com)

3. Surat dapat juga dialamatkan kepada Kantor Sekretariat Daerah atau Sekretariat DPRD tingkat propinsi.

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Oleh: Erni Setyowati dan M. Nur Sholikin

PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia)

http://www.parlemen.net

Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). UU ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004.

Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden ((Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP.

Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP). Bagaimanakah prosedur rincinya?

Perencanaan
Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Siapa Yang Merancang Sebuah RUU

RUU dari Presiden

Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan.

Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres No. 68/2005. Sebelumnya, proses penyusunan RUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Namun dengan berlakunya Perpres No. 68/2005 maka Keputusan Presiden tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR.

Penyusunan RUU

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian.

Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas

Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan.
Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.
Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.

Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan.
Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.

Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.

Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden.

Penyusunan RUU diluar Prolegnas

Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.

Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.

Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.

Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.

Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.

Penyampaian RUU Kepada DPR

RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud.

RUU dari DPR

Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).

Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.

Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.

Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.

Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.

RUU dari DPD

Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.

Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU.

Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.

Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut.

Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR.

Siapa Yang Mengusulkan Undang-undang

Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) bisa datang dari tiga pintu yaitu Presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam mengusulkan sebuah RUU ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada Prolegnas.

Pengusulan Oleh Presiden

RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan.

Sementara itu, keterangan pemerintah yang menyertai surat presiden disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat: (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan. Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi RUU.

Pengusulan Oleh DPD

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.

Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.

Pengusulan Oleh DPR

Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu

  1. Badan Legislasi
  2. Komisi
  3. Gabungan komisi
  4. Tujuh belas orang anggota

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.

Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa:

  1. Persetujuan tanpa perubahan
  2. Persetujuan dengan perubahan
  3. Penolakan

Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut.

Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

Pembahasan RUU

Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.

Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

  1. Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
  2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
  3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan:

  1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)
  2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain
  3. Diadakan rapat intern

Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh

  1. laporan hasil pembicaraan tingkat I
  2. pendapat akhir fraksi
  3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden.

Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan.

Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.

Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan.

Analisa Kebijakan Pubik Untuk Mengatasi Krisis Politik:

Usulan Perbaikan untuk RUU Tentang Pemilihan Umum

Republik Indonesia

Oleh: Syafuan Rozi, SIP, M.Si

Periset Bidang Perkembangan Politik Nasional & Perbandingan Politik

Pusat Penelitian Politik (P2P), LIPI, Jakarta

Pengantar

Pemilihan Umum masa depan perlu dirancang untuk menghasilkan sistem politik Indonesia yang lebih demokratis, lebih jujur, punya semangat egaliter (bukan sistem yang membiarkan partai-partai cuma mengandalkan ikatan primordial patron client), bertindak rasional (ada kontrak sosial pemilih & wakilnya-bukan hanya pesta pemilu), cukup kompetitif (terbuka persaingan yang sehat berbagai partai, bukan menghasilkan partai hegemonik).

Selain itu, setiap wakil legislatif dan ketua eksekutif pusat/daerah harus dikenal dan dipilih langsung oleh publik, tetapi juga menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia. Untuk itu sistem pemilu yang menghasilkan ‘Bi-partai’ adalah salah satu jalannya.

Keadaan sistem multipartai pada masa transisi menuju reformasi dewasa ini, di satu sisi cukup baik untuk memungkinkan tumbuhnya kompetisi para kandidat dalam menduduki posisi-posisi politik. Namun, disisi lain dalam proses sistem multipartai ini masih tampak perilaku politik legislatif dan eksekutif yang belum sehat.

Sistem ‘multipartai biasa’ yang para aktor politisinya sangat haus kekuasaan, ‘tidak tahu diri’, menghalalkan segala cara, ada keberpihakan birokrasi, tidak berlangsung ‘fair’ dan ‘tidak memiliki aturan main’ serta ‘law enforcement’ yang jelas, maka dampaknya akan berpotensi untuk menimbulkan ketidakstabilan politik, keadaan ‘politik uang’ / ‘politik dagang sapi’, adanya anarkhi massal karena frustasi politik dan kekerasan politik di masyarakat.

Sistem multipartai sekarang ini, perlu diarahkan kepada keadaan Bi-partai. Untuk itu kompetisi politik di Indonesia perlu dikonvergensikan agar mengarah kepada ‘aliansi dua partai besar’. Ada Beberapa Manfaat Sistem Bi-partai jika diterapkan untuk Indonesia dalam waktu mendatang:

· Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.

· Akan ada peluang pergiliran dan pergantian kekuasaan secara teratur dan terantisipasi.

· Dengan Bi-partai, perpolitikan Indonesia akan relatif stabil. Bagi masyarakat awam sapapun yang memimpin mereka asalkan kemakmuran dan rasa aman berjalan baik.

· Ada Partai Pemerintah dan ada Partai Pengawas. Akan ada ‘Kabinet yang Sehari-hari Bertugas’ ada ‘Kabinet Bayangan Pengimbang’, yang akan mengawasi fungsi eksekutif dan kabinet birokrasi sehari-hari. Hal ini baik untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak disalahgunakan (abuse of power).

· Masih dimungkinkan terjadinya pluralisme politik, partai-partai baru tidak dilarang untuk tumbuh. Biarkan publik yang memilih menjadi konsumen dalam memilih, dan partai atau kandidat persorangan menjadi ‘produsen’ yang menyediakan ‘pasar politik’. Partai dan calon perorangan yang kurang atau tidak baik, dengan sendirinya tidak laku dipilih.

· Sistem Bi-partai akan memudahkan masyarakat dalam memilih wakil legislatif dan ketua eksekutif pusat/daerah pada hari PEMILU.

Sistem Multipartai yang berkonvergensi Bi-partai ini berpeluang akan menghasilkan kandidat yang mewakili kepentingan konstituen lewat Partai yang Memerintah dan kepentingan konstituen lewat Partai Pengimbang yang Mengawasi.

Analisis Usulan perbaikan RUU Pemilu

Revisi RUU Pemilu Indonesia, perlu mengarah kepada keadaan sebagai berikut:

· Terbentuuknya Sistem Parpol Bi-Partai (yang tetap memberi peluang berbagai partai tumbuh, tetapi ada ‘kesederhanaan’ partai).

· Model Daerah Pemilihan yang bisa mengarah ke Bi-Partai antara lain adalah model distrik atau variasi m Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.

· odel lainnya.

· Pemilihan dua tingkat yaitu :

1. Pemilihan Langsung Wakil Legislatif (DPR & DPD).

2. Pemilihan Langsung Ketua Eksekutif Pusat-Daerah (Presiden+wakil, Gubernur, Bupati/Walikota).

· Wakil rakyat yang dipilih adalah bertipe Politico (harus bertemu dulu dengan para pemilihnya sebelum mengambil keputusan penting di legislatif), bukan tipe wali atau tipe mandat (yang seolah-olah mengatasnamakan konstituen tapi tidak pernah melakukan konsultasi dengan pemilihnya).

· Seorang kandidat anggota legislatif harus memiliki track-record pengabdian di dalam masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dari bukti-bukti keterlibatannya di dalam masyarakat yang di-verifikasi lewat ‘Fit and Proper Test’ yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Selanjutnya, untuk mewujudkan gagasan di atas perlu diajukan usulan perbaikan untuk RUU Pemilu, yaitu:

Ps. 3 (dari teks yang lama……) , menjadi:

Pemilu dilaksanakan dalam 2 (dua ) tingkat pemilihan, yaitu tingkat pertama, untuk pemilihan legislatif [Dewan Perwakilan Rakyat RI(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPRD Profinsi, DPRD Kabupaten/Kotamadya). Tingkat kedua, untuk memilih ketua Eksekutif Pusat (Presiden dan Wakil Presiden) dan Eksekutif Daerah (Gubernur, Bupati/Walikotamadya).

Argumentasi:

· Pemilihan ketua eksekutif Pusat dan Daerah secara langsung oleh publik diharapkan bisa menambah dukungan legitimasi publik terhadap pemerintahan terpilih.

· Mencegah terjadinya ‘money politic’ di tingkat DPR dan DPRD yang diduga terjadi dan beberapa indikasi menunjukkan ke arah itu, ketika calon eksekutif berkompitisi di tingkat parlemen.

· Mencegah dan menjinakkan korupsi, kolusi dan nepotime oleh calon atau pejabat ketua eksekutif. Sebelum dan setelah saat menjabat. Ketua eksekutif pusat maupun daerah tidak perlu mempunyai beban mental harus ‘membayar balas jasa’ kepada kelompok ologharkhi yang akan atau telah memilihnya seperti sistem selama ini. Seorang eksekutif terpilih dan ‘berhutang budi’ kepada publik mayoritas yang memilihnya.

Ps. 5 (1) (dari teks yang lama……) , menjadi:

Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota adalah Partai Politik dan calon perorangan.

Ps. 5 (2) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota adalah boleh calon dari partai atau calon perorangan.

Ps. 6 Pemilu untuk memilih anggota legislatif dilakukan dengan sistim distrik prefensial. Pemilih memilih nomor kandidat wakilnya secara langsung, bukan tanda gambar Parpol saja. Wakil yang memperoleh preferensi terbanyak berhak mewakili distiriknya. Setiap distrik diwakili oleh 2 orang wakil. Kandidat harus mewakili daerah tempat asal kelahirannya, minimal sarjana (S1) serta pernah tinggal di daerah tersebut minimal 8 tahun.

Bab III, Ps. 14. Perlu ditambahkan syarat-sayarat bagi Parpol:

g. Setiap partai politik diharuskan membuka kantor Parpol yang mengadakan bidang Humas untuk konstituennya (untuk menampung artikulasi kepentingan para pendukungnya), bidang advokasi dan realisasi (untuk memperjuangkan dan mencari solusi permasalahan konstituennya).

h. Setiap partai politik harus menyiapkan saran komunikasi politik bagi konstituennya berupa kotak pos pengadua, hotline telepon, situs internet dan alamat email yang harus diumumkan terbuka lewat media massa nasional.

i. Setiap partai politik wajib melakukan pertemuan di daerah pemilihannya pada saat anggota legislatif melakukan kunjungan reses dan pada saat akan diambilnya pengambilan keputusan yang penting di legislatif. Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.

Analisa Kebijakan Pubik Untuk Mengatasi Krisis Politik:

Usulan Perbaikan untuk RUU Tentang Pemilihan Umum

Republik Indonesia

Oleh: Syafuan Rozi, SIP, M.Si

Periset Bidang Perkembangan Politik Nasional & Perbandingan Politik

Pusat Penelitian Politik (P2P), LIPI, Jakarta

Pengantar

Pemilihan Umum masa depan perlu dirancang untuk menghasilkan sistem politik Indonesia yang lebih demokratis, lebih jujur, punya semangat egaliter (bukan sistem yang membiarkan partai-partai cuma mengandalkan ikatan primordial patron client), bertindak rasional (ada kontrak sosial pemilih & wakilnya-bukan hanya pesta pemilu), cukup kompetitif (terbuka persaingan yang sehat berbagai partai, bukan menghasilkan partai hegemonik).

Selain itu, setiap wakil legislatif dan ketua eksekutif pusat/daerah harus dikenal dan dipilih langsung oleh publik, tetapi juga menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia. Untuk itu sistem pemilu yang menghasilkan ‘Bi-partai’ adalah salah satu jalannya.

Keadaan sistem multipartai pada masa transisi menuju reformasi dewasa ini, di satu sisi cukup baik untuk memungkinkan tumbuhnya kompetisi para kandidat dalam menduduki posisi-posisi politik. Namun, disisi lain dalam proses sistem multipartai ini masih tampak perilaku politik legislatif dan eksekutif yang belum sehat.

Sistem ‘multipartai biasa’ yang para aktor politisinya sangat haus kekuasaan, ‘tidak tahu diri’, menghalalkan segala cara, ada keberpihakan birokrasi, tidak berlangsung ‘fair’ dan ‘tidak memiliki aturan main’ serta ‘law enforcement’ yang jelas, maka dampaknya akan berpotensi untuk menimbulkan ketidakstabilan politik, keadaan ‘politik uang’ / ‘politik dagang sapi’, adanya anarkhi massal karena frustasi politik dan kekerasan politik di masyarakat.

Sistem multipartai sekarang ini, perlu diarahkan kepada keadaan Bi-partai. Untuk itu kompetisi politik di Indonesia perlu dikonvergensikan agar mengarah kepada ‘aliansi dua partai besar’. Ada Beberapa Manfaat Sistem Bi-partai jika diterapkan untuk Indonesia dalam waktu mendatang:

· Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.

· Akan ada peluang pergiliran dan pergantian kekuasaan secara teratur dan terantisipasi.

· Dengan Bi-partai, perpolitikan Indonesia akan relatif stabil. Bagi masyarakat awam sapapun yang memimpin mereka asalkan kemakmuran dan rasa aman berjalan baik.

· Ada Partai Pemerintah dan ada Partai Pengawas. Akan ada ‘Kabinet yang Sehari-hari Bertugas’ ada ‘Kabinet Bayangan Pengimbang’, yang akan mengawasi fungsi eksekutif dan kabinet birokrasi sehari-hari. Hal ini baik untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak disalahgunakan (abuse of power).

· Masih dimungkinkan terjadinya pluralisme politik, partai-partai baru tidak dilarang untuk tumbuh. Biarkan publik yang memilih menjadi konsumen dalam memilih, dan partai atau kandidat persorangan menjadi ‘produsen’ yang menyediakan ‘pasar politik’. Partai dan calon perorangan yang kurang atau tidak baik, dengan sendirinya tidak laku dipilih.

· Sistem Bi-partai akan memudahkan masyarakat dalam memilih wakil legislatif dan ketua eksekutif pusat/daerah pada hari PEMILU.

Sistem Multipartai yang berkonvergensi Bi-partai ini berpeluang akan menghasilkan kandidat yang mewakili kepentingan konstituen lewat Partai yang Memerintah dan kepentingan konstituen lewat Partai Pengimbang yang Mengawasi.

Analisis Usulan perbaikan RUU Pemilu

Revisi RUU Pemilu Indonesia, perlu mengarah kepada keadaan sebagai berikut:

· Terbentuuknya Sistem Parpol Bi-Partai (yang tetap memberi peluang berbagai partai tumbuh, tetapi ada ‘kesederhanaan’ partai).

· Model Daerah Pemilihan yang bisa mengarah ke Bi-Partai antara lain adalah model distrik atau variasi m Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.

· odel lainnya.

· Pemilihan dua tingkat yaitu :

1. Pemilihan Langsung Wakil Legislatif (DPR & DPD).

2. Pemilihan Langsung Ketua Eksekutif Pusat-Daerah (Presiden+wakil, Gubernur, Bupati/Walikota).

· Wakil rakyat yang dipilih adalah bertipe Politico (harus bertemu dulu dengan para pemilihnya sebelum mengambil keputusan penting di legislatif), bukan tipe wali atau tipe mandat (yang seolah-olah mengatasnamakan konstituen tapi tidak pernah melakukan konsultasi dengan pemilihnya).

· Seorang kandidat anggota legislatif harus memiliki track-record pengabdian di dalam masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dari bukti-bukti keterlibatannya di dalam masyarakat yang di-verifikasi lewat ‘Fit and Proper Test’ yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Selanjutnya, untuk mewujudkan gagasan di atas perlu diajukan usulan perbaikan untuk RUU Pemilu, yaitu:

Ps. 3 (dari teks yang lama……) , menjadi:

Pemilu dilaksanakan dalam 2 (dua ) tingkat pemilihan, yaitu tingkat pertama, untuk pemilihan legislatif [Dewan Perwakilan Rakyat RI(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPRD Profinsi, DPRD Kabupaten/Kotamadya). Tingkat kedua, untuk memilih ketua Eksekutif Pusat (Presiden dan Wakil Presiden) dan Eksekutif Daerah (Gubernur, Bupati/Walikotamadya).

Argumentasi:

· Pemilihan ketua eksekutif Pusat dan Daerah secara langsung oleh publik diharapkan bisa menambah dukungan legitimasi publik terhadap pemerintahan terpilih.

· Mencegah terjadinya ‘money politic’ di tingkat DPR dan DPRD yang diduga terjadi dan beberapa indikasi menunjukkan ke arah itu, ketika calon eksekutif berkompitisi di tingkat parlemen.

· Mencegah dan menjinakkan korupsi, kolusi dan nepotime oleh calon atau pejabat ketua eksekutif. Sebelum dan setelah saat menjabat. Ketua eksekutif pusat maupun daerah tidak perlu mempunyai beban mental harus ‘membayar balas jasa’ kepada kelompok ologharkhi yang akan atau telah memilihnya seperti sistem selama ini. Seorang eksekutif terpilih dan ‘berhutang budi’ kepada publik mayoritas yang memilihnya.

Ps. 5 (1) (dari teks yang lama……) , menjadi:

Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota adalah Partai Politik dan calon perorangan.

Ps. 5 (2) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota adalah boleh calon dari partai atau calon perorangan.

Ps. 6 Pemilu untuk memilih anggota legislatif dilakukan dengan sistim distrik prefensial. Pemilih memilih nomor kandidat wakilnya secara langsung, bukan tanda gambar Parpol saja. Wakil yang memperoleh preferensi terbanyak berhak mewakili distiriknya. Setiap distrik diwakili oleh 2 orang wakil. Kandidat harus mewakili daerah tempat asal kelahirannya, minimal sarjana (S1) serta pernah tinggal di daerah tersebut minimal 8 tahun.

Bab III, Ps. 14. Perlu ditambahkan syarat-sayarat bagi Parpol:

g. Setiap partai politik diharuskan membuka kantor Parpol yang mengadakan bidang Humas untuk konstituennya (untuk menampung artikulasi kepentingan para pendukungnya), bidang advokasi dan realisasi (untuk memperjuangkan dan mencari solusi permasalahan konstituennya).

h. Setiap partai politik harus menyiapkan saran komunikasi politik bagi konstituennya berupa kotak pos pengadua, hotline telepon, situs internet dan alamat email yang harus diumumkan terbuka lewat media massa nasional.

i. Setiap partai politik wajib melakukan pertemuan di daerah pemilihannya pada saat anggota legislatif melakukan kunjungan reses dan pada saat akan diambilnya pengambilan keputusan yang penting di legislatif. Sistem Bi-partai akan menghasilkan suasana kondusif, efektif, efisien dan produktif untuk mendukung program kemakmuran dan rasa aman masyarakat Indonesia.