Kamis, 20 September 2007

Catatan Pendek Untuk Oposisi PDIP

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan

Periset di Pusat Penelitian Politik

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta

Tradisi oposisi bukan barang asing di nusantara. Model koreksi terhadap raja dimungkinkan lewat mekanisme pepe (berjemur) seperti di Jogjakarta. Kalau rakyat punya aspirasi tertentu terhadap raja, mereka duduk di alun-alun tanpa berbicara sampai berminggu-minggu. Sehingga raja memperhatikan mereka dan bertanya apa maunya. Dalam demokrasi tidak begitu. Dalam demokrasi, kita tidak lagi punya raja, tapi rakyatlah yang berdaulat penuh. Karena itu, yang diinginkan rakyat terbanyaklah yang mestinya menjadi kebijakan negara. Dalam tradisi politik Minangkabau pun ada kerapatan Body-Chaniago yang memperbolehkan perbedaan pendapat di dalam forum Kerapatan Anak Nagari (KAN), sebelum mencapai kata sepakat untuk memilih akibat yang buruk dari yang terburuk. Jika kondisi yang baik sulit terjangkau kenyataan.

Masalah Oposisi dalam Politik

Oposisi bukan kata baru dalam Ilmu Politik. Oposisi arti harfiahnya “berlawanan”. Kata oposisi hadir dari khazanah budaya politik Inggris dan juga Australia, ketika di dalam parlemen terdapat dua pihak yang saling berhadapan: partai yang memerintah dan partai yang menjadi oposisi di seberangnya. Intinya, oposisi ada karena dalam kenyataan politik ada yang berkuasa dan ada yang di luar kekuasaan. Pihak politisi partai yang di luar kekuasaan bisa saja berperan mengontrol, mengimbangi, membuat kabinet bayangan (check, balances,shadow cabinet) untuk mengingatkan (early warning), menegur dan memberikan alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa, sehingga publik mempunyai pilihan-pilihan kebijakan. Dasar filosofisnya oposisi adalah: karena manusia bukan malaikat, maka manusia harus dikontrol oleh manusia lainnya ketika berkuasa.

Lord Acton pernah mengingatkan Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak dengan sendirinya akan disalahgunakan. Peran opisisi yang sehatlah agar kekuasaaan politik yang ada, tidak disalah gunakan dan diarahkan agar kongkret mengabdi untuk kepentingan orang banyak.memungkinkan munculnya alternatif kebijakan. Oposisi pada dasarnya adalah perbedaan pendapat. Sebab selalu akan banyak pendapat dalam proses merumuskan kebijakan pemerintah. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan dan kepadatan Jakarta, eksekutif cukup membuat busway, monorail, subway atau transportasi terpadu atau perlu memindahkan ibukota negara sebagai pusat pemerintahan secara berkala. Ini semua adalah pilihan-pilihan kebijakan.

Peran eksekutif dalam iklim demokrasi perlu dikontrol secara sehat melalui faksi-faksi di parlemen. Untuk itu perlu ada yang menjadi oposisi atau kabinet bayangan di parlemen. Namun parlemen pun harus dikontrol juga agar eksekutif bisa bekerja dengan tenang dan efektif. Beberapa negara menganut model bikameral (dua kamar) dalam sebuah parleman. Ada kamar atas dan ada kamar bawah. Antara kamar atas dan kamar bawah pun saling mengontrol. Sayangnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR kita belum berfungsi sedemikian.

Opisisi Berbasis Ilmu Pengetahuan?

Oposisi yang sehat memerlukan sikap praxis yaitu memadukan ideologi demokratis dan rasionalitas ilmu pengetahuan dalam praktek politik. Sehingga selain kritik juga menawarkan alternatif solusi. Jika PDIP atau partai manapun menolak impor beras yang akan dilakukan eksekutif, perlu riset kecil untuk mengetahui kondisi irigasi persawahan di nusantara, penyebaran hama, musim banjir dan kering, yang bermuara kepada gagal panen. Pihak bioteknologi LIPI, BMG, IPB, HKTI, YLKI, Walhi, dst. perlu diundang dalam satu meja untuk membicarakan akurasi pengambilan kebijakan impor beras. Jika tidak, ketika beras langka di pasaran, terjadi busung lapar yang masif, siapa yang akan menanggung akibat dan dosanya. Jangan sampai terjadi kegagalan negara, akibat oposisi yang gagal. Ingat jatuhnya Uni Soviet, menurut Berzensky antara lain karena gagalnya panen jagung akibat salah hitung musim dingin yang buruk.

Ignas Kleden (Kompas, 4 Juli 1998) mengingatkan oposisi dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka oleh publik. Adalah naif sekali untuk percaya bahwa eksekutif bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan, pangan, energi, kebudayaan dan seterusnya. oposisi dibutuhkan sebagai advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita, justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijakan, sehingga apabila itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal. Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela).

Manfaat lainnya adalah bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah. Tidak segala sesuatu akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat eksekutif perlu menerangkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan diterapkan. Socrates, konon suka mengajar filsafat dari pasar ke pasar, mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan 1: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan ke-2: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ke-3 adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan?. Oposan negeri ini perlu berguru secara imajinatif dengan ilmunya Socrates.

Peran Oposisi PDIP ?

Untuk tidak dianggap sebagai oposisi yang kesepian, PDIP atau partai manapun perlu mencari dukungan publik. Alangkah indahnya kalau peran oposisi suatu partai di Parlemen soal politik beras tidak hanya menolak impor beras dari luar negeri, tapi juga mempertimbangkan usulan yang kongkret dan instrumental untuk memperbaiki nasib petani, kepentingan konsumen dan titik temu dengan pedagang beras, dibandingkan dengan pengalaman kasus Jepang dan Thailand misalnya. Suatu partai sebaiknya melakukan open house untuk membahas isu publik yang paling aktual. Pers perlu dilibatkan secara terbuka, agar para pemilih tahu apa yang sedang diperkuangkan partai dalam membela kepentingan publik pemilihnya. Jangan hanya ramai ketika konggres atau ulang tahun partai.

Untuk kedepan, agar PDIP tidak kesepian dalam beroposisi seperti yang diamati oleh profesor riset Syamsuddin Haris (Kompas (13 Januari 2006), semua politisi Parpol sebaiknya mengedepankan icon demi kehormatan negara dan kemaslahatan masyarakat Indonesia berbasis ilmu Socrates. Untuk itu dibutuhkan para oposan, ‘pemerintahan bayangan’ atau ‘pengimbang politik’ yang berilmu, bermoral, satu kata dan perbuatannya. Tidak hanya berani menjual jargon beroposisi untuk berbeda, tapi dalam berbeda itu kita perlu hikmah dan kearifan yang memberi inovasi dan rasa keadilan bagi sesama manusia. Sehingga para politisi di parlemen, eksekutif dan birokrasi negara menjalankan dengan benar kaidah indah "Sayyidul Qaumi Khadimuhum", Pemimpin suatu kaum itu adalah pelayan kaum itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda