Kamis, 20 September 2007

MENATA NEGARA INDONESIA MASA DEPAN

MENATA SISTEM PEMILIHAN PRESIDEN:

Catatan Seputar Naskah Akademik Revisi UU PILPRES

Oleh: Syafuan Rozi

Peneliti P2P LIPI Jakarta[1]

Abstrak

Banyak cara yang bisa ditempuh untuk menata negara, baik lewat cara struktural melalui penataan kebijakan publik, maupun cara kultural dengan melembagakan sosialisasi budaya politik baru yang egaliter dan produktif untuk menghasilkan demokrasi substansial. UU Pemilihan Presiden yang lama cenderung menghasilkan lemahnya hubungan antara presiden dan wakil untuk menjadi satu team yang solid dan efektif. Tekanan dari parlemen dan partai politik menyangkut pengangakatan dan pergantian para menteri mengindikasikan sistem yang berjalan merupakan praktek sistem parlementer yang kadangkala bisa menyulitkan posisi presiden. Padahal amandemen konstitusi dengan jelas menempatkan sistem presidensial murni sebagai pilihan. Presiden dipilih langsung dan konsekuensinya tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan ke konstituen atau pemilih. Probelematika yang lain adalah menyangkut mahalnya biaya pemilu dua putaran, mungkinkan pilpres hanya dibuat satu putaran dengan persyaratan pengajuan calon hanya boleh dilakukan oleh partai atau koalisi partai yang telah memperoleh minimal 25% suara pemilu legislatif. Selain itu, kurang rinci dan operasionalnya soal materi kampanye menimbulkan ketidakjelasan rencana 100 dan 1000 hari setelah memerintah, pendeknya waktu kampanye dan kurangnya transparansi dana kampanye telah menimbulkan praktik politik uang. Begitu pula tidak adanya pidato kekalahan menyebabakan ada massa yang melakukan kerusuhan karena kandidatnya kalah. Terakhir, kurang pasnya lokasi pelantikan pasangan presiden di parlemen. Harunya dalam sistem presidensial ketua MA melantiknya di istana negara atau istana merdeka sebagai simbol istana rakyat.

I. Pendahuluan

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dewasa ini, telah terjadi perubahan besar mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945. Apabila sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka pada tahun 2004 pemilihan presiden dan wakil presiden akan dilakukan secara langsung oleh rakyat (konstituen). Ini sesuai dengan amandemen UUD 1945 yang mengamanatkan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.[2] Ketentuan tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang telah disahkan pada bulan Juli 2003 lalu.

Salah satu materi penting UU itu antara lain mengatur adanya 2 (dua) putaran pemilihan. Putaran pertama, bahwa pasangan calon yang mendapatkan suara sah lebih dari 50% dari jumlah suara sah dalam pemilihan dengan sedikitnya 20% suara sah di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) akan menjadi pasangan calon yang terpilih.

Putaran kedua, dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih di atas, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, dipilih kembali dalam pemilihan oleh rakyat secara langsung. Dalam hal bila pasangan calon terbanyak pertama diperoleh dua pasangan calon, maka dua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung. Peserta pemilihan adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung akan diselenggarakan oleh KPU. [3]

Negeri kita Indonesia terus berubah. Proses demokrasi prosedural sudahtampak mulai begitu maju, namun kebijakan publik yang menata agar praktik demokrasi substansial (partisipasi publik, produktifitas menuju keesejahteraan bersama, pergiliran kekuasaan secara damai dan adil, dst.) masih terus harus dibangun dan dirancang detailnya. Untuk itu perlu disusun aturan main berupa UU atau kebijakan publik, antara lain penataan sistem pemilihan presiden masa depan, agar terpilih dan terbentuk eksekutif yang terbaik dari yang ada, guna bisa mengisi kesempatan terbaiknya untuk memakmurkan bangsa. Namun ada harapan bahwa eksekutif atau lembaga kepresidenan yang terpilih sebagai hasil pilpres langsung bukanlah eksekutif yang menjalankan pengelolaan negara secara otoritarian. Selanjutnya bukan pula eksekutif yang tidak bisa bergerak leluasa karena begitu banyak mendapat gangguan dan tekanan politik dari kekuatan yang ada di parlemen.

Presiden yang dipilih secara langsung harusnya bertanggung jawab pada konstitusi dan para pemilih. Pasangan presiden ini tidak bisa diberhentikan oleh parlemen, walaupun demikian kedua lembaga ini harus saling dukung dan saling mengawasi secara seimbang. Pihak kandidat dan pendukung yang kalah pun perlu bersikap sportif dan mendukung kinerja pasangan terpilih untuk mewujudkan janji kampanyenya. Suara rakyat adalah suara Tuhan yang perlu dan harus dihormati oleh semua kalangan yang percaya pada kebaikan demokrasi, dibanding sistem pemerintahan yang lain.Pada tanggal 9 November 2001 dan 10 Agustus 2002 MPR RI telah mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945. Sistem pemerintahan negara Indonesia lebih dipertegas kembali memilih bentuk sistem presidensial. Perubahan itu diatur dengan Pasal 6A ayat (1) yang menetapkan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat", dan juga pasal 7 “Presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal-pasal tersebut menunjukkan jelasnya pilihan terhadap sistem pemerintahan presidensial.

Pilihan politik untuk kembali pada sistem presidensial ini sekaligus merupakan koreksi terhadap otoritarianisme Orde Baru. Seperti diketahui, presidensialisme pada masa Orde Baru tidak didukung oleh pemilihan presiden secara demoktratis. Presiden dipilih oleh MPR yang susunan dan keanggotaannya didesain sedemikian rupa dalam rangka melanggengkan atau melestarikan kekuasan presiden. Melalui aturan-aturan politik sistemik, presiden dapat melanggengkan kekuasaannya dengan mengkooptasi lembaga ini. Implikasi dari mekanisme yang demikian: Pertama, rendahnya tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Presiden terpilih; Kedua, bangunan yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan yang bersifat kolutif tersebut cenderung otokratik ketimbang demokratik.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu langkah dan bagian yang sangat penting serta fundamental dalam proses perubahan politik dewasa ini. Suatu transformasi struktur kekuasaan yang sangat mendasar dari bangunan kekuasaan otoritarian menuju ke suatu tatanan politik demokratis. Filosofi dasar dari prinsip demokrasi adalah siapapun yang akan menjadi pemegang kekuasaan, pada tingkat apapun dan cabang kekuasaan manapun harus mendapat mandat dari rakyat, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.

Sistem Pilpres sekarang belum merupakan sistem yang ideal, sebab kadang-kadang pemilih dihadapkan bukan pada pilihan calon pemimpin yang baik atau calon yang buruk, tetapi masyarakat kadang-kadang harus memilih pasangan capres dari yang kurang buruk diantara calon-calon yang lebih buruk. Namun sistem ini menjadi pilihan banyak bangsa karena dianggap lebih baik dari sistem lainnya.

Dalam melakukan sirkulasi kepemimpina sistem ini juga tidak dapat menghasilkan pimpinan yang ideal bagi seluruh rakyat, karena tatanan kekuasaan ini memang tidak dimaksudkan untuk itu, tetapi dimaksudkan untuk memilih pemimpin yang mendapatkan dukungan rakyat dalam jangka waktu tertentu.

Makna penting lainnya dari sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung adalah untuk mewujudkan mekanisme keseimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara cabang-cabang kekuasaan yang ada. Dalam upaya itu, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung diharapkan cabang kekuasaan eksekutif memiliki basis kekuasaannya sendiri yang terpisah dari basis kekuasaan parlemen. Dengan demikian, presiden memiliki kekududukan yang lebih kuat, dan oleh sebab itu parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden karena kebijakannya.

Amandemen kontitusi sebenarnya dimaksudkan untuk menata ulang dan mengoreksi otoritarianisme Orde Baru. Namun seperti diketahui, sebagai akibat kentalnya kompromi politik yang berorientasi jangka pendek, yang terjadi adalah kerancuan sistemik antara pilihan presidensialisme dan parlementarianisme. Realitas politik dewasa ini menunjukkan pengangkatan atau usulan pemberhentian sejumlah mentri dalam kabinet yang disusun oleh presiden cenderung berdasarkan pengaruh dari partai-partai yang duduk di parlemen.

Sehubungan dengan itu, naskah ini bermaksud menata ulang sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia pada masa mendatang yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan yang efektif, stabil selama lima tahun, serta terbangunnya cheks and balances. Untuk itu diperlukan revisi UU Pilpres guna memperkuat dan meningkatkan efektifitas sistem presidensial . Agenda tersebut antara lain perubahan syarat peserta pemilu presiden, penataan kampanye Pilpres, pelembagaan pidato kekalahan, dan tata cara pelantikan pasangan presiden terpilih.

II. Dilema dan Krikil Cobaan UU Pemilihan Presiden Lama

2.1. Hubungan Capres-Wapres dan Kepresidenan-DPR

Sejak tahun 2004 Indonesia memasuki tahap baru dengan telah berjalannya proses pilpres secara langsung dan demokratis, namun dalam praktiknya masih ada kendala yang terjadi kemudian. Sistem pemilihan presiden yang sekarang cenderung menyulitkan kerja sama antara presiden dan wakil presiden di satu pihak, maupun antara presiden dan parlemen di pihak lain. Hal ini disebabkan oleh sistem pilpres yang ada sekarang pada satu sisi masih memungkinkan munculnya kandidat presiden berasal dari partai kecil, tapi sangat populer dan menang, namun di sisi lain parlemen (badan legislatif) dikuasai oleh partai politik lain. Akibatnya, instabilitas atau kemacetan politik tidak dapat dihindarkan dan pemerintahan yang ada cenderung tidak efektif. Hal itu terjadi karena terlalu rendahnya ketentuan ET (electoral threshold) dalam pencalonan Capres dan Cawapres, serta belum dilembagakannya koalisi permanen antarpartai pendukung kandidat.

Selain itu, penggabungan dan atau koalisi partai pengusung pada Pilpres 2004 lebih didasarkan pada pragmatisme-oportunisme politik, ketimbang diikat oleh kesamaan visi dan landasan politik dalam rangka masa depan bangsa yang lebih baik. Koalisi yang bersifat cair dan dibangun sesaat tersebut cenderung menjadikan rentannya dukungan atas pasangan calon presiden terpilih oleh partai-partai pengusungnya. Dengan fondasi yang sangat rapuh ini, maka tidak mengherankan jika acapkali terjadi perbedaan yang tajam antara parlemen dan pemerintah terpilih di satu pihak dan di antara sesama pendukung pemerintah di pihak lain.

Selain itu, belum konsistennya tata cara pelantikan pasangan calon presiden terpilih. Pasangan presiden langsung terpilih tempat dilantiknya berada di gedung MPR, padahal mereka adalah pasangan hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Seharusnya pelantikan dilakukan di Istana Negara. Pelantikan kepala negara di parlemen menyiratkan sistem yang berjalan adalah parlementer. Padahal sistem pemerintahan yang digunakan adalah presidensial.

2.2. Dilema Pencalonan dan Posisi Kader Non-Partai

Adapun problematika UU Pilpres lainnya adalah kualifikasi kandidat presiden dan wakil belum diatur secara rinci sehingga mekanisme rekruitmen yang demokratis belum disepakati oleh semua partai yang berhak mengajukan kandidat pasangan presiden. Proses seleksi yang terjadi cenderung belum kompetitif dan belum transparan. Begitu juga asal calon apakah harus dari kader internal partai, kedua pasangan calon presiden dan wakil harus dari partai yang sama atau bisa berbeda dan apakah boleh dibuka untuk publik/non kader yaitu dari calon independen atau harus kader partai tersebut, masih menghasilkan dilema.

Kriteria calon yang akan dimajukan apakah memerlukan pengaturan sebaiknya harus kader partai atau boleh membuka pintu untuk calon independen tampaknya menjadi permasalahan tersendiri. Keberatan itu antara lain berkaitan dengan persoalan rusaknya penjenjangan kader . Begitu juga syarat pengusungan calon non partai akan bermasalah bila dikaitkan berapa biaya yang wajar yang harus ditanggung oleh calon independen agar namanya bisa diusung menjadi kandidat dari partai tersebut. Hanya calon yang kaya yang bisa maju dan calon yang punya integritas dan pengalaman tapi tidak memiliki uang akan tipis kemungkinannya bisa berkompetisi.

Dari lima pasang kandidat presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam pilpres 2004, hanya seorang kandidat yang telah melalui proses konvensi yang dilakukan oleh partai pengusung, yakni kandidat Wiranto yang dicalonkan oleh partai Golkar. Sedangkan partai lain tidak membuat keputusan pencalonan melewati proses tatacara pemilihan internal partai yang berjenjang dan melibatkan perwakilan pengurus di tingkat daerah. Ada pula kecenderungan proses konvensi ini masih berlangsung tertutup, elitis dan belum melibatkan media publik secara terbuka.

Berkaitan dengan mekanisme pengkaderan, bisa jadi dalam proses seleksi nya akan menjadi dilema tersendiri bagi pengurus dan anggota, bila calon yang diusung bukanlah kader yang berjuang dan dipersiapkan oleh partai yang bersangkutan untuk menjadi kandidat yang akan dimajukan sebagai pasangan presiden. Calon dari luar adalah pihak lain yang mengambil peluang para kader untuk mobilitas status para kader dan ini menyalahi asas kaderisasi partai. Namun jika kemungkinan calon dari luar untuk dimajukan oleh partai ditutup maka kemungkinan partai untuk bisa memenangkan calon yang populer dan didukung oleh masa bisa pula hilang. Partai tersebut bisa jadi akan dianggap tidak mengakomodir agenda demokratisasi dan sirkulasi elit yang terbuka. Belum lagi bila ada kepentingan sebagian pengurus partai yang membuka kemungkinan calon lain ikut konvensi partai tersebut sebatas formalitas, tapi tujuan utamanya untuk mengumpulkan dana politik dari yang bersangkutan.

2.3 Akuntabilitas Janji Kampanye dan Pendanaan

Pencalonan presiden dan wapres pun belum disertai dengan persyaratan proyeksi komposisi kabinet yang akan dibentuk apabila pasangan kandidat terpilih. Selama ini hak pemilih untuk mendapatkan informasi dan transparansi tentang komposisi menteri yang akan dibentuk oleh kandidat jika menang, belum dijamin oleh UU. Akibatnya ketika penyusunan kabinet, banyak pemilih yang kecewa, karena tidak pernah membayangkan orang tertentu yang dianggap kurang berkualitas, malah masuk menjadi menteri ketika pasangan pilpres tertentu terpilih. Tim sukses yang dianggap bermutu malah tidak tampil, digantikan oleh calon dari partai lain yang tidak terikat dalam koalisi yang jelas. UU Pilpres yang lama menghasilkan gejala pemilih melakukan hak pilih laksana pepatah ”bagai orang membeli kucing di dalam karung”. Pemilih sebagian belum punya alasan rasional dan kalkulatif memilih pasangan tertentu sebagai pilihannya, kecuali alasan sentimen primordial dan popularitas figur calon belaka.

Dalam visi dan misi yang diajukan oleh kandidat pasangan presiden belum memuat rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Selama ini pasangan kandidat hanya menyampaikan visi dan misi yang bersifat umum dan cenderung seragam antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Masa kampanye yang terlalu singkat (30 hari) mengakibatkan pemilih tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengenali kinerja dan kapasitas pasangan kandidat. Di sisi lain, pasangan kandidat tidak mempunyai cukup waktu untuk berinteraksi dengan konstituennya, serta memperkenalkan program-programnya.

Pendeknya masa kampanye cenderung mendorong partai politik dan/atau pasangan calon untuk mengambil jalan pintas melakukan money politics maupun cara-cara manipulatif lainnya, demi memenangkan pilpres. Pembatasan waktu kampanye sedikit banyak bisa menyumbang kondisi penghalalan segala cara. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila waktu kampanye tidak dibatasi waktunya hingga masa tenang seminggu sebelum hari pemilihan. Sehingga cara-cara normal dan rasional akan bisa dilakukan oleh para calon baik yang memilikan dana yang banyak atau calon yang tidak kaya tapi punya integritas dan inovasi perbaikan untuk disosialisasikan, dibuktikan dan kemudian bisa dipersandingkan antar kandidat dalam kurun waktu yang relatif panjang, guna pertimbangan dan sekaligus menarik dukungan pemilih.

Penggunaan media massa untuk kampanye secara tak terkontrol (pemberitaan, blocking time, dan iklan kampanye) dan ini hanya menguntungkan pasangan calon yang memiliki modal besar. Ini akan terjadi karena waktu kampanye sangat pendek sehingga tim sukses akan menonjolkan figur dan menaikan popularitas calonnya melalui media massa. Selain itu ada problematik yang lain menyangkut akuntabiltas dana kampanye. Publik tidak bisa mengetahui kemungkinan munculnya penyimpangan yang dilakukan kandidat dalam hal sumber dana kampanye maupun penggunaannya karena tidak ada kewajiban KPU untuk mengumumkannya.

2.4. Pengaturan Potensi Konflik Pascapilpres

Belum dilembagakannya pidato kekalahan secara formal di negeri kita bisa menyebabkan munculnya gejolak di lapangan saat pengumuman hasil akhir pilpres. Bagaimana mengatur agar ada keberadaban politik dan ada semacam tindakan sportif oleh tim sukses dan pasangan calon yang tidak terpilih dalam kompetisi pilpres bila mereka kalah agar tidak menimbulkan huru-hara di lapangan masih belum belum melembaga. Sehingga ketika massa menerima informasi tentang kekalahan dan terjadi ketidakpuasan, keadaan itu bisa berpeluang untuk dimanipulasi oleh pihak yang tidak sportif, untuk meragukan hasil akhir yang ada tersebut agar pilpres kembali diulang. Walaupun prosesnya jujur dan baik. Keadaan ini bisa menimbulkan gejolak politik pascapilpres. Sebagai contoh kasus saat pengumuman Pilpres 2004, kekalahan atau tidak terpilihnya Megawati menjadi presiden telah menimbulkan kemarahan sebagian besar masanya di Bali.

UU Pilpres yang lalu masih punya kelemahan dalam mengelola dan mengantisipasi konflik horizontal pascapilpres. Masalah yang dihadapi pada saat yang lalu adalah munculnya kemarahan dari sebagian pendukung yang tidak bisa menerima kekalahan ’jagoannya’. Peran pasangan calon yang kalah untuk menenangkan masanya menjadi catatan tersendiri untuk yang akan datang.

III. Cakupan revisi UU Pilpres

Ada sejumlah langkah penataan yang perlu dilakukan berkaitan dengan revisi UU Pilpres yaitu antara lain: perubahan syarat peserta pemilu presiden, penataan tim kampanye dan tim sukses, penataan materi kampanye, perubahan batas waktu kampanye, pengaturan penggunaan media massa dalam kampanye, pengaturan soal larangan dan dana kampanye, pelembagaan pidato kekalahan dan tata cara pelantikan calon terpilih. Penjelasannya secara lebih lengkap ada diuraian berikut:

1. Perubahan Syarat Peserta Pemilu Presiden:

Perubahan syarat peserta pemilu dilakukan karena dalam praktik selama ini, terutama aturan mengenai syarat pengajuan pasangan calon masih sangat longgar dan normatif. Untuk itu diperlukan penataan kembali mengenai pencalonan yang bersifat paket dari partai maupun hasil koalisi partai.

Khusus evaluasi yang terkait dengan hasil pencalonan pasangan calon Pilpres 2005, terjadi kelonggaran hubungan presiden dan wakil presiden terpilih yang antara lain disebabkan oleh rentang waktu dalam proses pembentukan koalisi yang sangat pendek. Pembentukan koalisi tersebut cenderung hanya berdasarkan “kepentingan pragmatis-oportunis” dari masing-masing partai pengusung. Koalisi permanen dan kuat sulit akan terbangun diwaktu yang akan datang jika tidak ditata secara seksama dari sekarang ini. Apalagi dalam regulasi yang ada hanya mensyaratkan jumlah prosentase sebesar 15 % untuk pilpres 2009, manakala partai hendak mengusung pasangan kadidatnya.

Persyaratan tersebut menjadikan jumlah pasangan calon yang muncul dengan komposisi partai yang ada saat ini bisa mencapai tiga hingga lima pasangan calon. Akibatnya proses pemilihan presiden dapat berlangsung dalam dua putaran. Konsekuensi dari hal ini adalah munculnya ekonomi biaya tinggi dalam pelaksanaan pemilihan presiden, serta kemungkinan potensi konflik yang lebih panjang yang terbangun atas perbedaan pilihan yang dapat mengakibatkan fragmentasi hubungan sosial pada aras masyarakat.

Persyaratan Koalisi Partai untuk Pengusungan Kandidat:

Untuk membangun kebaikan sistem Pilpres presidensial yang murni, maka diperlukan syarat pembentukan koalisi partai yang relatif permanen atas dasar platform politik yang sama, sebagai kriteria pengajuan pencalonan pasangan Presiden-Wapres di masa mendatang. Hal tersebut menjadi penting dilakukan untuk mendorong terbangunnya beberapa kondisi berikut:

1. Adanya stabilitas dan efektifitas jalannya kabinet presidensial. Resiko terjadinya penarikan dukungan menteri-menteri relatif bisa diturunkan. Hal ini terjadi karena adanya pengawalan bersama dan ikatan koalisi partai dari sejak awal bukan saat kampanye saja. Resiko ’pecah kongsi’ akan bisa dihindari bila terbangunnya koalisi terjadi alamiah, disebabkan platform partai yang relatif sama.

2. Penyederhanaan sistem kepartaian menjadi berpola dua koalisi besar, sehingga terbangun hubungan partai pemerintah dan partai oposisi sebagai bagian checks and balances antara eksekutif dan legislatif.

3. Membuka peluang yang lebih besar bagi terdapatnya dua pasangan calon dan pemilihan satu putaran pilpres tahun 2014. Pilpres satu putaran akan menghemat anggaran negara.

4. Memungkinkan terbentuknya dua kekuatan di parlemen antara koalisi partai yang berkuasa dan yang beroposisi. Namun hendaknya kelompok oposisi yang terbangun adalah oposisi yang bersifat konstruktif-demokrais yang lebih menekankan penegakan nilai-nilai demokrasi dengan meletakkan kehendak bersama lebih penting dari kepentingan kelompok atau golongan, dan bukan oposisi destruktif-oportunis maupun oposisi fundamental-ideologis.[4] Sehingga kekuasaan bisa dijalankan lebih bertaggung jawab untuk membela kepentingan publik bukan golongan atau kelompok yang sempit.

Penataan syarat pencalonan peserta pemilu presiden antara lain dapat dilakukan melalui tata cara berikut:

a.Pencalonan pasangan Presiden-Wapres harus dilakukan oleh partai/koalisi partai yang memperoleh suara minimal 30% dalam pemilihan legislatif. Hal ini bertujuan untuk membuka peluang yang lebih besar bagi terdapatnya dua pasangan calon dan satu putaran pada pilpres langsung mendatang. Hal ini diharapkan bisa menghasilkan dukungan yang kuat terhadap paket presiden terpilih, karena para menteri terikat dalam koalisi yang relatif permanen. Pencalonan pasangan bukan oleh partai yang sama dan bukan ’koalisi permanen’ dari partai yang memiliki platform yang berbeda akan relatif rawan penarikan dukungan. Hal ini perlu dan bisa dihindari dengan menggunakan instrumen syarat minimal perolehan suara untuk mengajukan pasangan kandidat presiden masa mendatang.

Selain itu persyaratan pencalonan pasangan presiden oleh partai/koalisi partai yang memenangkan suara 30% hasil pemilihan legislatif, juga akan bisa menghasilkan pola di parlemen yang menuju partai pemerintah dan partai oposisi yang fungsional untuk terbangunnya kelompok-kelompok yang saling mengawasi dan saling mengimbangi (cheks and balances) dalam berjalannya praktik kenegaraan.

b. Pendaftaran paket pilpres wajib melalui proses konvensi/pemilihan internal/koalisi partai secara demokratis dan transparan. Proses tersebut wajib terbuka untuk diliput oleh publik secara langsung dan melalui media. Mekanisme konvensi harus ada, selama kemungkinan calon independen belum dimungkinkan karena tidak atau belum diatur dalam UUD hasil amandemen yang lalu. Hanya saja ’praktik sewa perahu’[5] dalam konvensi partai untuk seleksi calon, yang mensyaratkan biaya mahal yang harus dibayar oleh pihak non-kader perlu mendapatkan pengawasan dan jalan keluar yang terbaik. Jika tidak sirkulasi elit yang teratur, terbuka, melahirkan pemimpin yang solutif dan genuin masih akan jauh panggang dari api.

2. Penataan Kampanye Pilpres:

a.Pengaturan Tim Kampanye dan Tim Sukses:

Dalam sistem presidensial murni para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan pada parlemen. Untuk mengarah ke sana maka perlu dirancang para calon menteri adalah bagian dari tim sukses masing-masing kandidat presiden saat Pilpres. Mereka perlu diumumkan secara resmi dan komposisinya wajib diproyeksikan sebagai ’kabinet tersusun’ yang akan diangkat menjadi tim menteri bila pasangan calon tertentu terpilih. Tim sukses yang dibentuk tersebut kemudian bisa dinilai oleh konstituen untuk menentukan pasangan calon presiden mana yang terbaik yang akan dipilih. Menjadi dilema bagi pemilih bila tim sukses tidak jelas orangnya atau jelas orangnya tapi malah orang lain yang bukan dari koalisi yang mengusung presiden malah masuk dalam kementerian.

Tim sukses tersebut sewajarnya adalah orang yang punya integritas, keahlian, mau berkeringat atau punya riwayat hidup sebagai pekerja keras guna meyakinkan publik untuk memilih pasangan kandidat presiden yang mereka promosikan. Hal yang aneh jika presiden terpilih mengangkat anggota partai lain yang berada di luar koalisi menjadi anggota tim kabinetnya. Konstituen jelas akan kecewa karena hal tersebut bermakna mereka telah tertipu. Ibarat membeli kucing di dalam karung. Pada sisi lain, resiko penarikan dukungan akan cenderung terjadi bila sejak awal tidak ada hubungan koalisi partai yang jelas, yang diadakan jauh-jauh hari sebelum Pilpres diadakan.

Untuk bisa dinilai oleh konstituen, tim kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan calon harus diumumkan secara resmi melalui media massa. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang cukup tentang siapa saja yang menjadi pendukung presiden. Siapa saja yang secara resmi mengumpulkan dana kampanye untuk menghindari tindak penipuan para pelaku yang mungkin ’mengail di air keruh’.

Untuk itu meknismenya tim kampanye dan tim sukses harus terdaftar di KPU atau Panitia Penyelanggara Pemilu. Tim kampanye dan tim sukses yang tidak terdaftar dan tidak memiliki bukti sertifikasi dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyukseskan kemenangan kandidat. Tim kampanye yang diumumkan tersebut aktor utamanya bisa saja atau sebaiknya merupakan representasi komposisi kabinet tersusun yang akan dibentuk apabila pasangan kandidat memenangkan pemilu. Hal ini bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi pemilih untuk memilih komposisi yang terbaik dari pasangan kandidat yang bertarung.

Pada intinya, langkah perbaikan mekanisme kampanye bisa diatur lewat penataan aturan main bagi tim kampanye dan tim sukses. Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Tim kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan calon harus diumumkan secara resmi melalui media publik.

2. Tim kampanye dan tim sukses harus terdaftar di KPU/Panitia Pemilihan Nasional.

3. Tim kampanye dan tim sukses yang tidak terdaftar dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyukseskan kemenangan kandidat.

4. Tim kampanye yang diumumkan tersebut akan merupakan representasi komposisi kabinet yang akan dibentuk atau tersusun apabila pasangan kandidat menang.

b. Penataan Materi dan Mekanisme Kampanye:

Piplpres mendatang dibayangkan akan diikuti oleh para calon yang semakin berkualitas. Kualitas itu antara lain dilihat dari kemampuan mereka menyusun materi kampanye yang tidak lagi abstrak dan sulit diukur implementasinya. Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi dan program kerja pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja pasangan calon merupakan perwujudan kongkrit dari visi dan misi yang harus disertai rincian cara pencapaian program, indikator capaian dan target waktu program tersebut.

Selain itu dalam materi kampenye perlu dijelaskan kepada publik tentang rencana komposisi ”kabinet tersusun” yang akan dibentuk oleh kandidat jika mereka memenangkan pemilihan juga harus disertai dengan bagaimana konsep mereka tentang sistem pemerintahan yang akan dibangun, seperti misalnya, efektifitas dan perampingan kabinet yang mendukung reformasi birokrasi. Hal tersebut wajib disampaikan pada saat kampanye sebagai agenda pembangunan institusi lembaga kepresidenan dan kementerian negara.

Persoalan lain yang perlu diatur dalam mekanisme kampanye adalah pengaturan mengenai debat publik. Debat publik harus dilakukan secara terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon. Hal ini untuk menunjukkan kesungguhan dan tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin. Untuk itu apabila ada pasangan calon yang mencari-cari alasan untuk tidak hadir, perlu dikenakan sanksi. Debat publik wajib diliput secara nasional oleh media masa.

Dari uraian di atas maka, upaya untuk penataan materi kampanye pilpres bisa dilakukan melalui:

1. Penguatan kualitas materi dan cara kampanye. Materi kampanye perlu terukur dan bisa diverifikasi oleh berbagai pihak.

2. Debat publik terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon untuk diliput oleh media secara nasional dan interaktif. Jika ada calon yang tidak hadir maka bisa saja pasangan bersangkutan dikenakan sanksi akan didiskualifikasi.

3. Komposisi ”kabinet tersusun” yang akan dibentuk oleh kandidat wajib disampaikan pada saat kampanye. Sehingga para pemilih bisa mempertimbangkan secara rasional bagaimana perkiraan kinerja kabinet berdasarkan tawaran kabinet tersusun yang diusulkan pasangan calon.

4. Pasangan calon sebaiknya wajib pula menyampaikan visi, misi dan program kerja pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja pasangan calon merupakan perwujudan nyata dan operasional dari visi dan misi yang harus disertai rincian cara pencapaian program, indikator capaian dan target waktu program tersebut. Sehingga para pemilih bisa secara kongkret membedakan cara yang akan ditempuh seorang calon bila dibandingkan dengan calon lain, walaupun visi dan misi mereka sama atau mirip.

5. Perlu pula pengaturan payung hukum lewat UU ini, agar substansi kampanye yang berupa proram yang operasional tersebut wajib untuk menjadi program kerja kabinet yang tersusun pascapelantikan. Hal tersebut akan dilihat sesuai janji atau tidak dengan mengevaluasi tanda-tanda keseriusan pasangan terpilih pada saat seratus hari pertama dan seribu hari kemudian pascapelantikan. Hal ini perlu dirancang agar hasil pilpres yang ada, bukan hanya sukses menurut kriteria demokrasi prosedural, tapi juga sukses atau gagal menurut hakikat demokrasi substansial.

c. Pengaturan Larangan dan Dana Kampanye:

Hal-hal yang memuat pelarangan kampanye perlu disertai dengan sanksi yang operasional dan pihak yang akan menegakkannya di lapangan. Pasangan calon yang melanggar ketentuan larangan kampanye dapat dikenai sanksi administratif sampai ke yang terberat yakni pembatalan sebagai pasangan calon. Jika pelanggaran bersifat administratif, kandidat dan tim suksesnya (sesuai kasusnya di tingkat pusat/daerah) akan dikenai denda yang ditetapkan oleh pengadilan. Gagasan pasangan menempatkan deposit, sehingga pelanggaran administratif bisa langsung diteggakkan. Hal ini diharapkan bisa menimbulkan efek kejut untuk pelaku pelanggaran. Deposit akan dikembalikan bila tidak ada pelanggaran.

Panwas mempunyai hak melakukan pembatalan pasangan calon apabila pelanggaran tersebut masuk kategori berat (pelanggaran pengaturan dana kampanye). Pelanggaran Pilpres yang tidak disertai penegakkan hukum di lapangan akan menghasilkan pilpres yang cacat secara prosedural.

Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye oleh tim sukses perlu pula ditegakkan. Tim sukses dan kandidat dilarang menerima bantuan dana melebihi nominal tertentu yang dikhawatirkan akan mengikat presiden terpilih melakukan tindakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) pascaterpilih. Hal ini dikarenakan regulasi yang ada tidak mengatur secara jelas sumbangan yang berasal dari Partai Politik (untuk setiap tingkatan), gabungan antar partai maupun pasangan kandidat, khususnya terkait dengan sumbangan yang berbentuk bukan tunai (in natura), seperti diskon, penggunaan faslitas, dll.

Sumbangan dana kampanye pemilu yang diatur dalam undang-undang hanyalah dalam bentuk uang dan hutang. Sedangkan sumbangan natura (barang), bantuan dalam bentuk jasa, diskon ataupun fasilitas dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak disebutkan sama sekali. Akibatnya donatur bisa saja memberian bantuan yang melebihi ketentuan dengan mengggunakan bentuk sumbangan seperti pemberian fasilitas trasportasi, memberikan bahan-bahan cetakan untuk kampanye ataupun diskon untuk penggunakan fasilitas seperti hotel dan sebagainya. Bantuan dalam jumlah besar dan tidak tercatat tersebut, sangat potensial untuk dilanggar oleh partai politik peserta pemilu.

Selain itu, regulasi tentang dana kampanye pada undang-undang pilpres juga tidak menjelaskan jumlah sumbangan yang wajib dicatat oleh bendahara dari partai politik dan/atau anggota legislatif mengenai bentuk, jumlah sumbangan dan identitas lengkap pemberi sumbangan. Sebaiknya KPU hanya membuat peraturan bahwa sumbangan lebih dari lima juta rupiah wajib dicatat dengan menggunakan formulir standar penerimaan.

Kedua, meskipun dalam rangka pengumpulan dana kampanye partai politik dan calon anggota legislatif harus berpegang pada batas maksimal sumbangan kampanye, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai larangan untuk mentrasfer dana dari rekening partai politik ke rekening dana kampanye. Hal ini pada akhirnya tidak mampu menjamin prinsip kesetaraan politik dimana partai yang memiliki sumber daya dan dana yang besar, tinggal menggunakan untuk keperluan kampanye. Donatur dapat menyumbang jauh hari sebelum pemilu sehingga akumulasi sumbangan dapat melampaui ketentuan batas sumbangan bagi kampanye.

Ketiga, undang-undang yang ada juga tidak menjelaskan mengenai penggunaan dana kampanye. Tidak ada difinisi mengenai aktivitas yang boleh didanai, bagaimana pencatatan pengeluaran dana kampanye serta batas maksimal pengeluaran. Ini mengakibatkan akuntabilitas pengeluaran untuk kampanye menjadi tidak ada. Selain itu, akan terjadi kesenjangan antara partai besar dan partai kecil dalam hal belanja untuk kampanye terutam penggunaan iklan dalam media massa yang pada akhirnya menjadikan kompetisi antar calon kandidat menjadi tidak seimbang.

Begitu pula belum atau tidak adanya definisi secara jelas perihal badan hukum dan perseorangan; apakah mencakup ’partai politik’, ’pasangan calon’, ‘anggota dan pengurus partai politik’, dan ‘anggota tim kampanye’. Ketentuan ini juga tidak mengatur mengenai utang dari Parpol, individu, badan hukum dan pihak ke-3, seperti utang iklan di TV swasta. Tidak adanya pengaturan yang jelas perihal sumbangan dari badan hukum swasta apakah mencakup induk perusahaan dan anak-anak perusahaannya.[6]

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dana kampanye pilpres dalam UU Pilpres perlu diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk membangun proses pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh publik sehingga mendorong terbangunnya good governance pascapemilu antara lain:

1. Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye Pilpres.

2. Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada publik melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara

3. Adanya konfirmasi tentang kelayakan penyumbang di dalam proses audit.

4. Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan permasalahan yang dihasilkan dari proses audit.

5. Pengaturan bahwa sumbangan dari perorangan yang berasal dari pengurus partai atau kandidat disamakan statusnya dengan penyumbang perorangan. Sumbangan in natura yang diterima tim kampanye maupun pasangan calon harus dihitung dalam uang dan terikat batasan sumbangan untuk individu dan badan hukum.

6. Sumbangan partai politik dikenai ketentuan seperti halnya ketentuan untuk badan hukum.

7. Utang dari individu, badan hukum dan partai politik kepada kandidat dan tim sukses harus dihitung sesuai dengan batasan sumbangan individu dan badan hukum.

8. Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang antimoney laundring.

9. Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan di bawah Rp. 5 juta yang dilakukan lebih dari satu kali dan menyimpan catatannya lewat bendahara partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan.

10. Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau perusahannya untuk menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan.

11. Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha.

12. Perlu ada kejelasan tentang definisi ‘pihak asing’ terutama perusahaan asing apakah domisilinya di luar Indonesia atau karena kepemilikan saham maksimum (di atas 50%) oleh pihak asing. Perlu juga diatur batasan sumbangan dari NGO Asing ke Partai Politik atau kandidat baik jenis NGO atau jenis pembiayaannya.

13. Perlu dijelaskan secara jelas kapan rekening dana kampanye dapat dibuka dan berapa ketentuan saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye.

14. Saldo awal dapat berasal dari rekening Partai Politik yang diatur batasan besarnya saldo awal.

15. Ketentuan mengenai utang harus dikenakan baik jumlah maupun kategori penyumbangnya dengan ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum.

16. Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana kampanye ke publik lewat media nasional.

17. Rekening dana kampanye yang dibuka harus dikoordinasikan oleh satuorang yang ditunjuk untuk bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga bertanggungjawab untuk mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan dana kampanye ke KPU/KPUD.

18. Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif.

19. Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas mengenai politik uang dan manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik uang yang terjadi. Perlu ada percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera diterapkan kepada orang atau pihak-pihak yang terlibat.[7]

d.Tidak Perlunya Waktu Kampanye:

Waktu kampanye yang begitu pendek menyebabkan para calon memakai cara pintas untuk meraih dukungan pemilih. Cara-cara itu antara lain politik uang, mobilisasi dan kooptasi kelembagaan birokrasi dan kemasyarakatan yang mendorong pembusukan politik. Untuk mengatasi hal tersebut bisa ditemukan jalan keluar berupa perubahan batas jadwal kampanye dari hanya tiga minggu menjadi lebih panjang atau sama sekali tidak dibatasi kecuali seminggu sebelum pemilihan suara sebagai waktu atau minggu tenang. Dengan demikian, kekhawatiran ‘curi start’ tidak perlu terjadi, penggunaan politik uang juga akan berkurang akibat waktu kampanye yang tidak dibatasi.

Waktu kampanye yang lebih leluasa ini bermanfaat bagi pemilih, tim kampanye dan kandidat untuk saling berinteraksi dalam waktu yang relatif alama di antara waktu dua pemilu presiden. Materi kampanye, performance dan kapabilitas calon pasangan presiden dapat dengan cermat dinilai dan diuji keberpihakannya oleh konstituen secara tidak terburu-buru. Ada pemikiran bahwa jika waktu kampanye diperpanjang diharapkan bisa menekan praktik money politics dan sejenisnya, untuk kemudian berubah menjadi penilaian track records calon dan hubungan kontrak politik yang lebih alamiah antara dua pemilu.

Penguatan bagi pemilih untuk mengenal calon lewat perpanjangan waktu kampanye, berguna untuk menekan penggunaan cara politik uang karena waktu yang tersedia untuk berkampanye relatif singkat. Perubahan batas jadwal kampanye dari tiga minggu menjadi lebih panjang lagi bisa dimanfaatkan untuk berkampanye dengan cara yang etis dan rasional.

Adapun argumentasi perlunya perpanjangan waktu kampanye atau waktu kampanye tidak perlu dibatasi sampai ’minggu tenang’ tiba adalah dengan argumentasi sebagai berikut:

1. Agar pemilih dan kandidat punya waktu yang cukup leluasa untuk saling berinteraksi soal materi kampanye, performance dan kapabilitas calon pasangan presiden.

2. Menekan praktik money politics, kooptasi lembaga birokrasi dan TNI/Kepolisian, menjual agama untuk kekuasaan dan sejenisnya.

3. Agar pasangan bisa diteliti kadar kepemimpinannya dan diuji keberpihakannya dalam menghadapi kasus-kasus aktual, selama masa kampanye yang relatif panjang.

e.Pengaturan Media Kampanye:

Kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita maupun iklan, perlu pengaturan dan pembatasan yang adil dalam frekuensi penayangan, penerbitan dan jumlah halaman. Untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas pemilu dan melibatkan partisipasi tim pemantau pemilu. Alasan pengaturan ini adalah agar pasangan calon yang memiliki uang banyak dan memiliki saham di perusahan media tidak memonopoli publikasi dalam berkampanye melalui media massa. Prinsip pilpres yang adil akan ditegakkan dalam pengaturan ini.

Untuk itu, penggunaan penggunaan media massa dalam kampanye perlu diatur antara lain:

1. Kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita maupun iklan, perlu pembatasan dalam frekuensi penanyangan, penerbitan dan jumlah halaman.

2. Untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas dengan berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan lembaga pemantau pemilu yang bersifat independen dengan menyertakan bukti rekaman ulang dan saksi ahli yang kuat secara integritas.

3. Pelanggaran media untuk kampanye yang terjadi harus cepat disikapi dan diberi sanksi denda atau diskualifikasi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung sebagai perkara cepat yang harus didahulukan.

3.Pelembagaan Pidato Kekalahan:

Untuk meredam potensi konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat kekalahan kandidat yang mereka dukung, perlu mekanisme dan inovasi politik untuk mengatasinya. Salah satu bentuknya adalah mengatur ketentuan agar ada penegakan budaya politik demokratis. Caranya adalah melembagakan pidato kekalahan dari kandidat yang kalah, saat pengumuman resmi hasil Pilpres di kantor Penyelenggara Pemilu Nasional.

Adanya tradisi politik penyampaian pidato kemenangan dan kekalahan akan meningkatkan prinsip sportivitas politik dalam Pilpres di Indonesia. Hal ini akan mendorong bagi pasangan kandidat maupun bagi para pendukungnya untuk menjadi good winner and good loser. Selain itu, tradisi penyampaikan pidato kekalahan diharapkan mampu meminimalisir mobilisasi massa oleh pasangan calon yang kalah, yang mengarah pada konflik horisontal dengan tujuan menggagalkan hasil pemilu. Sengketa-sengketa politik yang masih mengganjal diharapkan mampu diakhiri oleh elit dengan memperhatikan kepentingan bangsa yang lebih luas. Langkah ini akan menyatupadukan masyarakat kembali pascapilpres untuk menerima dan mendukung pasangan terpilih.

Pelembagaan pidato kekalahan merupakan upaya struktural dan kultural membangun demokrasi yang sehat. Upaya ini diharapkan menjadi janji dan kesepakatan bersama semua tim sukses dan kandidat untuk meminimalisir konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat perbedaan pilihan selama proses Pilpres. Caranya antara lain ketika calon mendaftarkan diri mereka harus bersedia menerima syarat ketentuan wajib untuk memberikan pidato kekalahan kantor KPU. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan sportivitas dalam proses demokrasi baik bagi pasangan maupun bagi para pendukungnya (menjadi good winner and good loser).

Kegunaan pelembagaan pidato kekalahan adalah untuk menenangkan massa pendukung. Hal ini juga untuk meminimalisir mobilisasi massa oleh tim sukses pasangan calon yang kalah atau provokasi pihak ketiga yang berpotensi mengarah pada konflik horisontal dengan tujuan menggagalkan hasil pemilu. Konflik kadangkala diciptakan oleh pihak ketiga unntuk menjalankan kepetingannya saat dan pascakonflik. Cara pelembagaan pidato kekalahan ini diharapkan bisa menyatupadukan masyarakat kembali pascapilpres untuk menerima dan mendukung pasangan terpilih. Masih ada pemilihan berikutnya untuk bertarung kembali secara sehat dan sportif.

4. Tata Cara Pelantikan:

UUD 1945 menunjukkan kecenderungan ke arah sistem presidensial dengan pengaturan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Hal ini tampak dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden adalah kepala pemerintahan dan penjelasan pasal 10 sampai 15 yang mengungkapkan bahwa presiden adalah kepala negara.

Dengan demikian lembaga kepresidenen lewat UU Piplres yang juga mengatur soallokasi pelantikan sebaiknya dibuat untuk mampu memancarkan pilihan sistem presidensial. Pelantikan pasangan presiden langsung didisain diadakan di Istana Negara (Istana Merdeka) , bukan di Bina Graha. Dalam sistem presidensialis, presiden dipilih melalui pemilihan langsung oleh seluruh rakyat maka pelantikannya di Istana rakyat. Untuk meningkatkan unsur simbolik pasangan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat, maka sebaiknya pasangan terpilih dilantik oleh ketua Mahkamah Agung di Istana Negara, bukan di gedung MPR atau parlemen.

Hal itu sejalan untuk membangun penguatan tradisi pemerintahan dan oposisi dalam sistem presidensialisme. Sejak dini lembaga kepresidenan bukan dilantik oleh ketua MPR, tapi MPR dan presiden adalah sejajar. Meski hanya menang dengan selisih suara tipis, presiden terpilih berhak mengantongi mandat dari rakyat untuk memerintah. Apalagi jika ia menang dengan angka telak. Mandat dari rakyat membuat posisi presiden amat kuat. Penting sekali pelantikan bukan di gedung MPR. Presiden Indonesia mendatang akan punya legitimasi politik lebih besar daripada presiden-presiden sebelumnya yang dipilih dan dilantik di MPR. Sejak revisi UU Politik ini presiden terpilih didisain untuk lebih percaya diri membuat keputusan politik.

Selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang jabatannya untuk jangka waktu lima tahun. Posisi presiden amat kuat sebab ia tidak bisa dihentikan di tengah jalan oleh MPR karena alasan politik yang multitafsir. UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur, presiden dan/atau wakilnya hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya bila (i) melakukan pelanggaran hukum berat, (ii) perbuatan tercela, atau (iii) tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Melihat hasil amandemen UUD 1945, tampak sistem pemerintahan Indonesia kian mendekati ciri-ciri presidensialisme murni. [8]

Ada harapan agar revisi UU Pilpres ini bisa menghasilkan kinerja lembaga kepresidenan yang lebih efektif dan produktif, juga mendorong terbangunnya koalisi partai yang megarah ke multipartai sederhana. Selain adanya hubungan legislatif dan eksekutif yang sehat dalam kerangka presidensialisme. Suatu hal yang penting dalam jangka menengah dan panjang guna terbanggunnya demokrasi yang prosedural dan sekaligus substansial di Indonesia masa mendatang.

Matriks Revisi UU Pilpres No.23/2003

No

Arah Tujuan

Agenda Penyempurnaan

Usulan Pengaturan

Argumentasi

1

Penguatan koalisi partai dalam proses Pilpres

(Urgensi pembentukan koalisi besar dan permanen atas dasar platform politik dalam pencalonan pasangan Presiden-Wapres)

Perubahan Syarat Peserta Pemilu Presiden

.

Pencalonan pasangan Presiden-Wapres dilakukan oleh partai/koalisi partai yang memperoleh suara minimal 30% dalam pemilihan legislatif.

Pendaftaran paket pilpres wajib melalui proses konvensi/pemilihan internal/koalisi partai secara demokratis dan transparan. Proses tersebut wajib terbuka untuk diliput oleh publik secara langsung dan melalui media .

Membuka peluang yang lebih besar bagi terdapatnya dua pasangan calon dan satu putaran pilpres tahun 2014.

Pilpres satu putaran akan menghemat anggaran negara.

Memungkinkan terbentuknya dua kekuatan di parlemen antara koalisi partai yang berkuasa dan yang beroposisi.

Pencalonan pasangan bukan oleh partai yang sama dan bukan ’koalisi permananen’ dari partai yang memiliki platform yang berbeda relatif rawan penarikan dukungan.

Penguatan sistem presidensial yang murni.

2

Perbaikan mekanisme kampanye

Penataan Tim Kampanye dan Tim Sukses

Penataan Materi kampanye

Tim kampanye dan Tim Sukses

yang disusun pasangan calon harus diumumkan secara resmi melalui media publik.

Tim kampanye dan Tim Sukses harus terdaftar di KPU.

Tim kampanye dan Tim Sukses yang tidak terdaftar di KPU dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyukseskan kemenangan kandidat.

Tim kampanye yang diumumkan tersebut akan merupakan representasi komposisi kabinet yang akan dibentuk apabila pasangan kandidat menang.

Perlunya pengaturan mengenai

debat publik terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon.

Komposisi ”kabinet tersusun” yang akan dibentuk oleh kandidat wajib disampaikan pada saat kampanye.

Pasangan calon wajib menyampaikan Visi, misi dan program kerja pemerintahan yang akan dilakukan.

Program kerja pasangan calon merupakan perwujudan kongkrit dari visi dan misi yang harus disertai rincian cara pencapaian program, indikator capaian dan target waktu program tersebut.

Hak pemilih untuk mendapatkan informasi dan transparansi tentang komposisi menteri yang akan dibentuk oleh kandidat jika menang Pilpres, dijamin oleh UU ini lewat keharusan mengumumkan nama-nama tim sukses.

Sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih untuk melihat soliditas dan kapasitas kabinet mendatang.

Tim sukses yang berkeringat mendapatkan haknya menjadi menteri dan pejabat publik lainnya.

Kehadiran kandidat dalam debat publik merupakan forum yang tepat untuk menilai kapasitas setiap calon.

Ketidakhadiran calon menunjukkan rendahnya komitmen yang bersangkutan dalam pilpres.

Visi, misi, program para kandidat sering hanya berisi cita-cita retorik dan kadang kala hampir sama antarcalon.

Visi, misi dan program yang tanpa disertai detail rencana operasional, cenderung menghasilkan fenomena ’membeli kucing dalam karung’.

Ada janji kampanye tapi tanpa detail cara pencapaianya merupakan kekaburan yang menjurus pada kebohongan terhadap publik.

Kampanye tanpa cara operasional pencapaian program yang rinci merupakan indikasi kegagalan pembangunan demokrasi substansial.

Perubahan Batas Waktu kampanye

Perubahan batas jadwal kampanye dari 3 minggu menjadi tidak perlu dibatasi hingga minggu tenang.

Agar pemilih dan kandidat punya waktu yang panjang untuk saling berinteraksi soal materi kampanye, performance dan kapabilitas calon pasangan presiden.

Menekan praktik money politics dan sejenisnya.

Pengaturan Penggunaan Media Massa dalam Kampanye

Kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita maupun iklan, perlu pembatasan dalam frekuensi penayangan, penerbitan dan jumlah halaman.

Untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas.

Agar pasangan calon yang memiliki uang banyak dan memiliki saham di perusahan media tidak memonopoli publikasi dalam ber kampanye melalui media massa.

Larangan Kampanye

& Law-enforcement

Hal-hal yang memuat pelarangan kampanye perlu disertai dengan sanksi. Pasangan calon yang melanggar ketentuan larangan kampanye dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon. Jika pelanggaran bersifat administratif, kandidat dan tim suksesnya (sesuai

kasusnya di tingkat pusat/daerah) akan dikenai denda yang ditetapkan oleh pengadilan.

Panwas mempunyai hak melakukan pembatalan pasangan calon apabila pelanggaran tersebut masuk kategori berat (pelanggaran pengaturan dana kampanye).

Pelanggaran Pilpres yang tidak disertai penegakkan hukum di lapangan akan menghasilkan pilpres yang cacad secara prosedural.

3

Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye

Transparansi

Dana Kampanye

Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) diumumkan pada publik melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara.

Membangun proses pilpres yang baik secara prosedural, untuk mendorong terbangunnya good governance pascapemilu.

Sanksi pelanggaran perlu dicantumkan, termasuk siapa yang akan melakukan peneggakan hukumnya di lapangan.

Ada tatacara baku dalam menangani dan mengadili pelanggaran dalam proses pilpres yang disepakati semua tim sukses pilpres.

4

Meminimalisir konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat perbedaan pilihan

Pelembagaan

Pidato kekalahan

Penetapan pasangan terpilih wajib disertai dengan pidato kemenangan dan kekalahan dari pasangan calon yang mengikuti pilpres di kantor KPU.

Meningkatkan sportivitas dalam proses demokrasi baik bagi pasangan maupun bagi para pendukungnya (menjadi good winner and good loser).

Meminilmalisir mobilisasi massa oleh pasangan calon yang kalah, yang mengarah pada konflik horisontal dengan tujuan menggagalkan hasil pemilu.

Menyatu padukan masyarakat kembali pascapilpres untuk menerima dan mendukung pasangan terpilih.

5

Penguatan Sistem Presidensial

Tata cara pelantikan presiden

Pelantikan Presiden-Wapres terpilih dilakukan di Istana Negara oleh ketua MA

Pelantikan di istana memberikan makna penguat simbolik format pemerintahan presidensial, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bukan bertanggung jawab pada MPR.

Daftar Pustaka

Dokumen Negara Amandeman UUD 1945 (Perubahan amandemen keempat).

Dokumen Negara UU Pilpres 2003.

Muhammad Qodari, “Otoritarianisme Baru dan Desain Institusi”, Kompas, Sabtu, 08 Mei 2004 yang mengutip Jimly Asshidiqie, 2002.

Executive summaryPerubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik” oleh Tim Cetro, TII, ICW, Perludem dan IAI-KSAP, Desember 2006.



[1] Penulis, Syafuan Rozi Soebhan adalah peneliti pada P2P LIPI Jakarta. Dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih dan apresiasi mendalam kepada Dra. Sri Yanuarti, rekan satu tim dalam perumusan Revisi UU Pilpres versi LIPI. Juga kepada Prof. Dr. Syamsudin Haris selaku koordinator tim, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Dr. Indria Samego, M. Nurhasim, Drs. Heru Cahyono, Dr. Lili Romli, M.Si dan rekan-rekan P2P LIPI lainnya, Dr. Tommy Legowo dari CSIS, Drs. Arbi Sanit dan Prof. Dr. Maswadi Rauf dari UI, yang dengan kepakarannya memberikan banyak ulasan dan kritik yang sangat berharga berkaitan dengan lahirnya tulisan ini.

[2] Lihat pada Pasal 6A UUD 1945 (Perubahan amandemen keempat).

[3] Tugas dan wewenang KPU adalah: merencanakan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; menetapkan tata cara pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan tahapan yang diatur dalam undang-undang; mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon; meneliti persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan; menetapkan Pasangan Calon yang telah memenuhi persyaratan; menerima pendaftaran dan mengumumkan Tim Kampanye; mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit yang dimaksud; menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh undang-undang.

[4]Oposisi desktruktif-oportunis adalah oposisi yang dibangun oleh kelompok yang kalah dalam pemilu yang bertujuan untuk merugikan pemerintahan. Oposisi fundamental-ideologis, adalah oposisi yang dibangun tidak hanya ingin menghancurkan dan meraih kekuasaan, tetapi menggantikan sistem ketatanegaraan yang ada.

[5] Istilah ‘sewa perahu’ adalah kiasan untuk menunjukkan fenomena kewajiban memberikan sumbangan uang atau barang oleh calon independen di luar kader partai bila ingin masuk nominasi pencalonan. Sewa perahu bermakna menyewa partai sebagai kendaraan politik lewat pemberian dana kepada partai pengusung, sebagai kompensasi pencalonan dirinya dalam bursa pemilihan. Persyaratan dana yang besar akan menutup kemungkinan calon yang berkualitas tersingkir digantikan oleh calon yang kaya walaupun secara kualitas tertinggal.

[6] Lihat pula executive summaryPerubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik” oleh Tim Cetro, TII, ICW, Perludem dan IAI-KSAP, Desember 2006.

[7] Ibid,-

[8] Lihat Muhammad Qodari, “Otoritarianisme Baru dan Desain Institusi”, Kompas, Sabtu, 08 Mei 2004 yang mengutip Jimly Asshidiqie, 2002.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda