Kamis, 20 September 2007

Ez-link Kartu Pengganti Coin

Oleh : Syafuan Rozi
Peneliti P2P LIPI Jakarta

Biang Macet Jakarta

Kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta penyebabnya adalah Angkutan Umum yang selalu berhenti (ngetem sembarangan). Kita lihat di UKI, Perempatan Pasar Rebo (Kampung Rambutan), Cililitan, Kalibata, Pasar Minggu. Supir angkutan umum itu kebal terhadap hukum (tidak ditilang). Mereka seenaknya berhenti dan mangkal menunggu penumpang. Saya setuju apabila ada angkutan massal seperti Busway bisa mengurangi Jumlah angkutan umum yg lain.

(Purnama, Pengirim Surat Pembaca di Media Indonesia, Senin, 18 September 2006)

Sesekali waktu, langkahkan kaki, naiklah kendaraan umum di negeri jiran terdekat Indonesia. Ternyata kota Singapura, teknologi transportasinya boleh juga dilirik oleh pemegang otoritas kita. Hal ini, terutama bisa diadaptasi oleh Pemda DKI Jakarta dan departemen perhubungan, yang bertanggung jawab mengurai kemacetan ibukota.

Kabar gembiranya, penduduk di sana relatif bersenang hati untuk beralih ke kendaraan umum. Tanya mengapa? Jawabnya bukan oleh rumput yang bergoyang. Namun, fakta yang berbicara! Ada rasa nyaman. Aman. Jarang macet. Tersedia sepanjang waktu. Perusaahan bus pun tidak merugi, karena penumpang gelap yang tidak mau bayar sewa (free-raider). Ia bisa disuruh turun dan bis tidak akan berjalan. Alternatif memang masih diberikan ke mesin koin, jika sebagai orang baru kita belum memiliki Ez-liink kartu magnetik. Cukup supir saja yang memantau dari belakang kemudi, tanpa perlu kondektur.

Salah satu penyebab kecil hal itu adalah adanya Kartu magnetik Ez-link. Ia mampu menggantikan fungsi uang tunai pembayar jasa. Akibatnya, pak supir tak perlu ’ngetem’ mencari penumpang. Tidak perlu kenek atau kondektur. Tidak ada penumpang yang bisa sembunyi tak mau bayar (free- rider). Hasil akhirnya, jalanan kota relatif lancar dan kebocoran uang perusahaan angkutan publik bisa dihindari. Kita akan banyak belajar dari kota ini, ketika membenahi transportasi kota.

Ez-link adalah kartu magnetik yang mirip voucher kartu pra-bayar handphone sehari hari. Benda ini digunakan sebagai pengganti uang tunai pembayar jasa ketika penumpang menggunakan jasa publik transport seperti bus kota, bus tingkat atau kereta listrik. Cara penggunaannya, penumpang masuk dari pintu depan kendaraan umum. Mendekatkan kartu itu ke depan sensor yang dipasang di tiang masuk, sehingga dapat diawasi supir. Setelah ingin turun, penumpang mendekati pintu keluar tengah, kembali mendekatkan kartu tersebut ke sensor yang terpasang di tiang dekat pintu keluar. Secara otomatis nilai voucher berkurang sesuai jauh dekatnya perjalanan.

Ada anekdot Singapura, bunyinya Every thing is fine. Semua hal berjalan baik, karena setiap pelanggaran dikenakan denda oleh pengadilan. Banyak polisi muda yang ternyata siswa SLTA yang menjadi polisi bagi warga kota, selain polisi berpakaian preman dan sedikit yang berseragam betulan. Pihak yang nekat akan mudah ditindak ‘polisi sipil’ dan kemudian diserahkan ke court-pengadilan. Penegakan ‘hukum yang hidup’, melahirkan suasana aman. Bus kota dan kereta bawah tanah akibatnya relatif bersih dari corat-coret dan berseraknya sampah. Kota ini bersih dan enak untuk tinggal dan berlalu-lalang.

Selain bersih, akan kita temukan jalan kota yang relatif lenggang dari kendaraan pribadi dan motor roda dua. Orang di sana relatif sudah dipuaskan dengan nyamannya transportasi kota. Ada bus tingkat, bus AC reguler dan kereta. Jarak tunggu pun tidak terlalu lama. Routenya membelah semua penjuru pulau dari Front-Harbour sampai Geylang dan Changi. Idealnya, sebagian besar pajak warga negara dialokasikan dengan serius untuk inovasi teknologi pengelolaan maksimal transportasi publik. Lalu apa bedanya dengan transportasi kota di Jakarta kita?

Sekarang ini, penumpang di Jakarta lazim membayar uang tunai kepada kondektur. Supir dan kenekpun harus menyerahkan setoran kepada pemilik kendaraan. Sistem ini menghasilkan budaya ’ngetem’ untuk menambah penghasilan supir. Supir pun seenaknya berhenti dan berebutan salip-menyalip menjemput penumpang, akibatnya jalanan macet luar biasa.

Selain itu transportasi publik, kecuali bus-way, bus AC dan KRL khusus, yang relatif adem alias dingin. Metromini, kopaja, mikrolet, kowanbisata sudah sesak penumpang, panas, tambah lagi kerumunan pencopet yang berkeliaran. Satu lagi, para penebar paku ikut mengais rezeki di “air keruh”. Malangnya lagi, tidak ada jalur khusus bagi motor roda dua. Lengkaplah sudah, jalanan jadi semrawut, kacau, menghasilkan budaya bringas dan saling maki-memaki antar pengguna jalan. Walhasil, kelas menengah atas lebih memilih punya kendaraan pribadi roda empat ketimbang menyabung nyawa naik kendaraan umum.

Negara kota Singapura, sejak lama sudah menerapkan pembayaran transportasi publik bus dan sub-way MRT (Mass Rapid Transportation) dengan penggunaan kartu magnetik. Mereka tidak lagi atau jarang mengandalkan uang kartal untuk membayar jasa transportasi, kecuali bagi pendatang baru yang bisa membayar dengan uang koin ke dalam kotak uang sesuai tarif perjalanan. Hasilnya cukup ajaib, tidak ada supir yang mengejar setoran dan berhenti sembarangan untuk mengambil penumpang. Walhasil kemacetan jalanan di negeri singa ini hampir bisa dihindari. Warga kota pun akhirnya lebih memilih kendaraan umum. Selain karena relatif nyaman biayanyapun terjangkau. Ada pendingin udara dan bahkan panel televisi di dalamnya.

Ez-link dapat dibeli di beberapa kasir di berbagai stasiun di penjuru kota dan setiap perhentian MRT dengan beberapa pilihan nominal harga. Kartu tersebut didekatkan dengan panel sensor ketika penumpang masuk ke kendaraan umum. Sejenak kemudian akan terdengar bunyi...teet menandakan kartu sudah didebet. Kartu Ez-link tersebut kembali didekatkan ke sensor di dekat pintu keluar saat penumpang akan turun. Secara otomatis nilai kartu akan berkurang sesuai jarak rute kendaraan.

Jika nanti saatnya tiba, ada baiknya Pemda DKI Jakarta dan Perumka juga bisa memasang alat sensor kartu magnetik di busway dan KRL semacam Ez-link. Setiap penumpang yang masuk harus lewat pintu depan atau pintu khusus yang bisa diawasi supir atau kondektur. Begitu juga saat keluar, lewat pintu yang lain sambil mendekatkan kartunya untuk didebet secara otomatis. Pelan-pelan semua kendaraan umum dilengkapi AC dan sarana hiburan.

Hanya saja, kita perlu ragu kalau warga kota kita tidak pandai memelihara milik bersama. Proses pembelajaran, waktu, pendidikan dan peran media diharapkan akan mengubah watak dan perilaku bangsa kita. Jika teknologi kartu magnetik bisa menyumbang ke keadaan lebih baik, mengapa tidak dicoba untuk kita kembangkan di Indonesia. Uang pajak kita menanti untuk digunakan membeli atau membuat teknologi transportasi demi kebaikan bersama. Nanti alat ini bisa kita pasang di bus-way, bus umum, kereta dan monorail. Hanya saja perlu kita pikirkan alih pekerjaan bagi para kernet dan kondektur. Mereka bisa saja dipekerjakan di gerai resmi penjualan kartu magnetik tersebut di penjuru kota, menjadi pemandu wisata atau supir armada perjalanan wisata kota. Teknologi seharusnya berpihak kepada semua, termasuk pihak yang terkena gusuran pekerjaannya untuk mendapatkan solusi yang terbaik. (sr)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda