Kamis, 20 September 2007

Sekolah & Catatan Kekerasan

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan,

Peneliti P2P LIPI Jakarta

Seorang rekan bercerita dalam milis-group kami, “rumah ilmu pengetahuan” forum interaktif di antara peneliti LIPI. Ia bercerita bahwa jauh sebelum rating sinetron di berbagai televisi sekarang menanjak karena tayangan berbau kekerasan, silat, mistis, kriminalitas dan tontonan sarkasme, ia dulu pernah dipukul oleh gurunya di bagian kepala dengan penggaris kayu sepanjang satu meter di kelas. Ketika pelajaran sedang berlangsung, tanpa sebab guru matematika SD-nya menghantamkan mistar tersebut ke kepala.

Suatu yang aneh dalam dunia pendidikan itu dewasa ini terus berlanjut. Lewat tayangan di TV swasta bulan April 2007, diberitakan seorang guru olah raga di daerah ada yang menempeleng dan menendang siswanya, karena siswa tersebut tidak memakai seragam olah raga. Memang ada beberapa kasus ironis di dunia pendidikan di negeri kita, baik di tingkat IPDN sampai ke SD, masih tidak jauh-jauh dari kekerasan fisik.

Sebagian sekolah masih mendidik siswanya seperti mendidik hewan saja. Siswa dicubit, ditempeleng, ditendang sehingga sangat menyengat meninggalkan panas di kulit dalam waktu yang lama. Sekolah meninggalkan trauma kekerasan bagi sebagian orang yang sulit dilupakan hingga dewasa.

Di dunia pendidikan dan keseharian kita kekerasan sepertinya sudah menjadi bagian kultur yang permisif. Anak-anak yang kini tumbuh dewasa, dan pernah mengalami kekerasan bisa menjadi sama sekali tidak menyukai kekerasan atau sebaliknya penerus dendam tindakan kekerasan. Rekan saya yang lain bercerita bahwa ia pernah punya tesis yang bias, kekerasan adalah produk kelas bawah, kelas yang tidak mempunyai waktu cukup untuk menikmati hidup.

Bagi kelas bawah, waktu adalah kerja. Hampir tidak ada waktu untuk, misalnya, membaca buku sastra yang halus, sentimentil atau nonton produk film bermutu yang memanusiakan manusia. Akibatnya, sebagian besar anak bangsa ini menjadi kasar dan pongah. Lebih jauh lagi ini akan berdampak pada praktik dan laku sehari-hari. Sementara itu, kelas menengah (dan atas) adalah orang-orang yang relatif bisa menikmati hidupnya. Mereka punya waktu luang untuk pergi ke tempat berperadaban atau membaca buku sastra di sore hari sambil menyeruput secangkir teh. Sensibilitas mereka menjadi halus, peka dan antikekerasan.

Tetapi, ketika menonton adegan kekerasan di IPDN, rekan saya tersebut membatalkan tesisnya yang sedari awal sudah bias semakin tampak bias dan bahkan tidak berguna. Menurutnya dugaannya kebanyakan praja IPDN cenderung bukan lahir dari kelas bawah. Orang tua mereka, paling tidak, adalah pegawai pemda atau sejenis itu. Mereka pastinya dididik ketika kecil dengan intimitas atau kedekatan yang cukup. Sebuah kehangatan artifisial kelas menengah. Itu dibuktikan dengan liputan berita di TV yang menayangkan beberapa orang keluarga dekat mereka yang kaget dan tidak percaya dengan prilaku mahasiswa atau praja IPDN seperti algojo berdarah dingin. Seperti kata J.J. Roseau, masuk ke sistem yang buruk, orang baik akan jadi buruk.

Lembaga pendidikan tinggi sebenarnya mirip suatu organisme. Suatu sistem yang adaptif (bisa menyesuaikan diri untuk bertahan hidup) dan kompleks (perlu tumbuh, bisa berubah mengikuti waktu dan kondisi, dan juga bisa mati). Maka kasus IPDN bisa kita analisa dengan perspektif bio-p0litik. Perlu re-code DNA di institusi ini, jika masih mau dibenahi. Pilihan yang dihadapi IPDN antara lain: Pertama, berlaku hukum karma dan Qisas -IPDN dimatikan atau ditutup untuk selamanya- seperti juga nasibnya praja Cliff, Wahyu Hidayat, dll. Kedua, masuk ke habitat akademia di universitas negeri yang ada. Ketiga, IPDN diubah DNA-nya dan stop rekruitmen baru sampai semua angkatan yang ada lulus.

Setiap organisme memiliki DNA (DeoksiriboNukleikAsid). DNA berisi komponen utama kromosom dan merupakan bahan yang menghasilkan gen pembawa sifat keturunan. Ia kadang kala disebut molekul warisan, karena DNA bisa mewariskan sifat-sifat organisma induknya. DNA adalah konsep abstraksi. Suatu instruksi berkode yang menentukan siapa dan apa mereka. Praja “IPDN baru” perlu di re-code bahwa mereka adalah calon pelayan publik dan birokrat yang egaliter-anti kekerasan. Elemen masyarakat sipil yang berperadaban dan berjiwa kewirausahaan. Mereka bukan tentara karena ada TNI. Mereka bukan preman atau jawara walau mungkin akan berhadapan dengan para kriminal. Re-code kan bukankah kerak nasi yang keras, lumer dengan air yang lembut. Ber-Ilmu padi dan ilmu air lah, merunduklah ketika berisi dan tekun lah menembus kerasnya batu. Ini contoh DNA yang perlu ditanam di berbagai sekolah mendatang.

Mari kita analisa kasus IPDN dengan pendekatan DNA. Sekedar diketahui, DNA memberikan instruksi yang paling dasar dan paling kuat untuk menyusun kemampuan abadi serta perilaku sebuah entitas. Untuk pertanyaan kapan bisa dilakukan Re-code DNA baru IPDN?. Pertama, ia bisa dicangkokan setelah ada stop rekruitmen praja baru. IPDN jangan dulu menerima praja baru, sampai semua angkatan yang ada sekarang lulus. Baru pada angkatan baru nanti, DNA yang baru bisa ditanamkan. Kedua, Re-code dilakukan sekarang juga dengan mengirimkan praja IPDN untuk kuliah sand-wich ke universitas negeri yang memiliki FISIP dan sebaliknya.

Sulit dibantah, IPDN yang dipersiapkan untuk mencetak pelayan publik masyarakat sipil dalam perkembangannya memang pernah dilatih oleh dan cara militer. Kemudian DNA-nya pun akhirnya berciri militerisme. Atribut seragam, disiplin yang spartan dan hukuman fisik berupa push-up, berguling, dst., sekarang mulai dipertanyakan relevansinya untuk pelayanan publik yang profesional dan menuntut kompetensi.

Angkatan awal yang dilatih secara fisik dalam perjalanannya secara sadar atau tidak, telah ikut menanamkan induk DNA “kekerasan” dan “penyimpangan” berupa dendam, pembiasaan dan pembenaran (confirmity) kontak fisik dari praja senior di masa sebelumnya terhadap junior sesudahnya. Mata rantai kekerasan sambung-menyambung. Anehnya, pendidikan di AKABRI/AKMIL yang jelas-jelas pendidikan militer, tidak pernah terdengar tarunanya mati dalam pendidikan.

Mengubah kekerasan di IPDN atau sekolah kita yang lain bisa bermakna memutus cikal bakal mata rantai budaya kekerasan dengan memasukan kromosom DNA baru berisi muatan materi pendidikan egalitarianisme, prinsip semua manusia bersaudara dan dari keturunan yang satu dan kesederhanaan, kejujuran dan kecerdasan spiritual yang dilatihkan tanpa penyeragaman dan militerisme. Mereka dipersiapkan menjadi pendamba ilmu, pelayan publik yang merakyat, profesional yang peka dan peduli. (SR)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda