Kamis, 20 September 2007

ANALISIS KEBIJAKAN HAK INFORMASI MASYARAKAT

Oleh Syafuan Rozi

Periset di Pusat Penelitian Politik (P2P)

LIPI, Jakarta

Pengantar

Dalam suatu negara yang masyarakatnya ingin maju berkembang, adanya transparansi kebijakan dan terbukanya ruang publik untuk mengakses informasi seperti layaknya sang ikan yang butuh air untuk hidup. Prinsip yang mengatur agar dibukanya akses publik untuk memperoleh aneka informasi dan regulasi, sanksi dan reward, kejelasan biaya dan waktu pengurusan/perizinan/aneka dokumen, tersedianya berbagai temuan/paper ilmiah untuk diakses lewat situs internet dan aneka informasi lain yang berguna, jelas, lagi bermutu adalah merupakan keperluan yang sebenarnya merupakan hak setiap warga negara yang selama ini terabaikan, walaupun mereka telah membayar aneka macam pajak dan retribusi kepada negara.

Informasi yang tertulis hitam di atas putih yang disajikan lewat bilboard, papan pengumuman, media cetak, dan internet dapat dipakai sebagai acuan dan akses kontrol masyarakat terhadap jalannya pemerintah. Transparansi dan hak masyarakat memperoleh informasi akan mendorong lahirnya pemerintahan yang baik atau good governance.

Dalam konteks “Negara Berkembang”, kebijakan transparansi dan hak masyarakat memperoleh informasi. Mendukung keinginan untuk terbebas dari pemerintahan yang korup, otoriter dan tidak efisien. Kebebasan memperoleh informasi disamping mampu menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance), mampu mencegah KKN, juga dapat untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik, dan meningkatkan kualitas pengawasan publik.

RUU KMI dan Bad Governance

Pemerintahan yang buruk, salah satu cirinya adalah pemerintahan yang ditandai dengan ketertutupan informasi, tidak terkontrol (tidak bersedia dikontrol-tidak accountable), senang bersikap elitis, cenderung kruang produktif, belum punya standar prosedur penanganan bencana, belum memiliki sistem yang jelas, terlalu birokratis atau bertele-tele, sentralistis (terpusat) serta tidak efektif, boros dan tidak profesional.

UU ini dinilai sangat perlu dan mendekati kategori wajib, karena Indonesia pernah mengalami masa dimana informasi publik terbatas dan ada informasi yang sengaja dibatasi. Sebagian masyarakat punya mata dan telinga tapi tidak bisa melihat dan mendengar informasi apa yang terjadi sesungguhnya di lembaga pemerintahan dan lembaga lembaga negara lainnya, sehingga rakyat tidak mampu lagi mengontrol kinerja pemerintah. Warga negara tidak diberitahu berapa anggaran nasional/daerah yang dialokasikan untuk sektor yang menyangkut kebutuhan mereka –public good/public utilities-, berapa biaya dan lamanya pengurusan SIM/STNK, BPKP, IMB, KTP, Akte Kelahiran, Akte Nikah, bahkan apa kriteria yang dipakai untuk menerima atau menolak laporan pertanggung jawaban kepala daerah mereka.

Kini di era informasi, rakyat atau masyarakat harus memperoleh informasi sebanyak banyaknya, sehingga rakyat dapat melakukan kontrol dan dapat mengawasi pelaksanaan pemerintahan dan lembaga lainnya secara baik dan benar.

Ada kekhawatiran memang ketika terjadi benturan dikarenakan bisa saja pihak-pihak lain akan atas nama transparansi bisa mempergunakan kebebasan informasi untuk tujuan tujuan yang melanggar hak azasi manusia karena itu rancangan undang undang tentang kebebasan memperoleh informasi publik dapat dijadikan acuan bila terjadi benturan pihak pihak yang berkepentingan yang berkaitan dengan kebebasan informasi publik.

Tampaknya diajukannya rancangan undang undang ini adalah untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 28f UUD 45 yang ditegaskan kembali dalam TAP MPR XVIII/MPR/l998 tentang hak asazi manusia,khususnya dalam pasal 20 dan 21 serta peraturan perundang undangnan lainnya yang berkaitan dengan kebebasan memperoleh informasi publik.

Hal yang perlu dilakukan misalnya penyempurnaan pada batang tubuh RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yakni pengertian yang jelas tentang informasi yang dikecualikan dengan rahasia negara. Mengingat pemerintah akan mengaajukan RUU Rahasia Negara.

Tentang prinsip adanya jaminan hak bagi setiap orang untuk mengetahui, melihat dan mendapatkan informasi tanpa memerlukan alsan yang melatarbelakangi permintaaan, perlu ditinjau kembali kareana berbagai negara yang memiliki undang-undang semacam ini penggunaan hak harus menegaskan alasan permintaannya.

“Ini menyangkut tanggungjawab publik sebagai peminta atau pengguna informasi, sehingga kelangsungan kepentingan nasional tetap terpelihara. Masalah tugas dan fungsi dan wewenang lembaga informasi sebagai badan di bawah pemerintah masih dirumuskan terlalu luas, sehingga kewenangannya bisa menjadi bias dan rawan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Ada fraksi di DPR/MPR RI yang mengatakan, pada batang tubuh RUU ini juga perlu diteliti kembali mengenai fungsi Komisi Informasi sebagai mediasi dan ajudikasi, siapa yang membentuk, jumlah keanggotaan komisi serta hukum acara dalam penyelesaian sengketa informasi.

“Perlindungan terhadap informan dan pejabat publik yang beritikad baik, perlu ditinjau lagi, apakah pasal ini akan masuk ke dalam substansi RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga dalam proses formulasi.

UU ini nantinya diharapkan akan menjadi acuan bagi ketentuan-ketentuan mengenai askes informasi publik yang terdapat dalam undang-undang lain, serta merupakan perangkat koordinasi dan komunikasi di antara berbagai peraturan perundangan yang terkait dalam informasi publik, maka UU ini harus antisipatif menangkap suasana kehidupan masyarakat informasi dan kemajuan teknologi informatika serta dampak yang ditimbulkannya.

RUU KMI dan Otonomi Daerah

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, sebagai pertimbangan, RUU KMI ada baiknya mengatur bahwa informasi tentang Ramperda (Rancangan Peraturan Daerah), RAPBD, berbagai inisiatif DPRD, atau Standar Penilaian Laporan Pertanggungjawaban Gubernur agar dibuatkan atau dimasukan kedalam home page atau website E-Dewan NTB dan E-Government Pemda NTB, agar bisa membantu masyarakat untuk berkomunikasi dan dampaknya mempercayai DPRD dan Pemerintah Daerah-nya. Sosialisasi dan komunikasi politik lewat internet ini bisa dilakukan untuk mengatasi disparitas informasi.

Seorang aktifis LSM “Somasi” di NTB, berinisial SM misalnya mendefinisikan kepentingan publik di NTB menyangkut hak memperoleh informsi, sebagai berikut :

“..Semua maklum bahwa DPRD sebagai wakil rakyat diharapkan mampu mengartikulasi dan mengagregasikan apa yang sebenarnya menjadi kepentingan publik di NTB. Cuma untuk mendefinisikan kepentingan masyarakat itu memang cukup sulit, karena setiap orang di NTB punya kepentingan yang beragam. Kalau saya yang diminta mendefinisikannya, begini, kita di NTB sangat memerlukan transparansi, akuntabilitas dan ruang partisipasi ketika membangun NTB, dalam arti yang sebenarnya”.

Ia lebih lanjut menjelaskannya secara rinci bahwa,

Pertama, masyarakat NTB sekarang ini membutuhkan transparansi. Selama ini tuntutan itu tidak pernah diakomodir DPRD dan Pemda NTB. Pemerintahan umumnya masih sangat tertutup dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi masih minim dibuka oleh pemerintah. Hal seperti keterbukaan informasi itulah yang dimaksud, antara lain, sebagai prinsip akuntabilitas yang wajib ditegakkan oleh pemerintah dan DPRD. Kalau eksekutif dan legislatif berprilaku baik dan tidak ada kecurangan yang dilakukan, mengapa harus takut melakukan transparansi. Jika mereka transparan dan kebaikan DPRD dan Eksekutif daerah diketahui masyarakat, pihak mana yang akan dirugikan?. Malah dukungan publik dan kepercayaan akan bertambah kepada para wakil rakyat dan pelaksana pemerintahan daerah.

Kedua, masyarakat memerlukan DPRD yang bertanggungjawab kepada konstituennya. Kita tahu kalau eksekutif Pemda selama ini bertanggung jawab ke DPRD, kemudian kita juga bertanya, lalu DPRD kemudian bertanggung jawab kepada siapa? Sampai sekarang secara praktis tidak ada pertanggungjawaban dari DPRD kepada konstituennya.

Ketiga, masyarakat memerlukan agar pemerintah melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan pembangunan di NTB, jangan bertindak sepihak saja. Mereka yang di maksud masyarakat adalah para pemilih pada saat Pemilu, pihak RT & RW dan juga termasuk antara lain organisasi swadaya masyarakat (LSM).

Untuk pemulihan awal pasca kerusuhan di NTB, ia menyarankan perlu dibuat Perda Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi. Informasi itu sangat penting agar semua pihak bisa mengetahui penyelenggaraan pemerintahan ini dilakukan, berapa rencana alokasi APBD mau diperioritaskan untuk sektor apa. Itu sebenarnya hak masyarakat yang selama ini telah membayar pajak, tanpa bisa mengelak atau menolak. Sebagai aktifis LSM dan seorang yang belajar ilmu hukum, ia menginginkan adanya Perda Akuntabilitas Pemerintahan Daerah di NTB. Sekarang ini secara internal memang sudah ada Keppres No. 7 th.2001 dan pedoman Lembaga Administrasi Negara tentang akuntabilitas, tetapi ruang lingkupnya menjadi sebatas ‘niat baik’ di lingkungan internal Pemda, dampak penegakkan pelaksanaanya ke masyarakat menjadi sangat sulit diharapkan.

Penerapan jaringan internet berupa website/ hompage dan Email-DPRD NTB pada saat yang akan datang akan menjadi prasyarat yang penting dalam membangun komunikasi politik antara anggota DPRD NTB dan institusinya dengan para konstituennya. Hal ini akan merupakan suatu langkah good governance yang akan signifikan dalam rangka memberi ruang/media untuk peningkatan partisipasi konstituen (para pemilih). Bagi Dewan media ini akan menjadi sarana sosialisasi dan media penyampaian informasi politik yang bisa diakses kapan dan dimana saja. Hal itu akan membuktikan dan mendorong adanya proses transparansi dan akuntabilitas di institusi DPRD NTB.

Beberapa Hal Yang Perlu Regulasi

Masyarakat dirugikan oleh pemegang informasi publik, karena ketidakjelasan informasi yang diberikan. Padahal, hak masyarakat mendapatkan informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik tidak boleh dihambat atau diabaikan begitu saja karena mereka pemagang mandat sah (stakeholder) negeri ini.

UU ini perlu mengatur informasi mana yang bebas untuk dapat diakses oleh masyarakat serta informasi mana yang dapat dikecualikan secara ketat. Informasi yang bila dibuka bisa menghambat proses penegakan hukum, bisa mengganggu hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, bisa mengancam keselamatan perorangan boleh saja tidak dibuka kepada publik. Untuk itu perlu pembahasan RUU Rahasia Negara, sampai kapan suatu hal menjadi rahasia dan kapan wajib dibuka untuk publik. Dengan demikian, ada batasan yang tegas tentang rahasia negara dan informasi publik.Tetapi, informasi publik semestinya terbuka.

Beberapa kasus yang merugikan masyarakat terjadi akibat tidak adanya jaminan ketersediaan dan konsistensi atas informasi publik. Misalnya, kasus kenaikan tarif dasar listrik yang tertutup sehingga kenaikan yang sebenarnya dengan kenaikan yang diumumkan berbeda. Ini jelas merugikan dan memperdayakan masyarakat. Ketidakpastian biaya juga dialami oleh anggota masyarakat yang mengurus SIM/STNK/BPKB, mengurus IMB, Akte Tanah, Pasport, skema kompensasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kerahasiaan bank yang melindungi kejahatan hasil korupsi dan pencucian uang ‘panas’(money loundring).

Masyarakat berhak tahu rancangan dan ketetapan APBN, APBD beserta alokasi dan pihak yang mengelolanya secara rinci lewat pelaporan di salah satu situs resmi di internet yang bisa diakses publik 24 jam. Begitu juga kriteria dan tolok ukur apa yang dipakai untuk menerima atau menolak suatu Laporan Pertanggung Jawaban seorang kepala daerah/kepala pemerintahan.

Penutup

RUU KMI perlu mengatur mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk mengakses informasi publik secara cepat, tepat, adil, disamping mampu menekan ke arah perbaikan keadaan buruknya sistem pengelolaan dan pelayanan informasi di badan-badan publik. Perlu diatur agar ada pos alokasi dana khusus dari APBN untuk pembangunan situs-situs internet lembaga-lembaga pelayanan publik, Lembaga Penelitan dan Universitas/Istitut. Selanjutnya ada keharusan semua hasil seminar, workshop, simposium, yang menyajikan paper dan kertas kerja atau semacamnya wajib diakses kedalam situs bersangkutan agar bisa diakses untuk dimanfaatkan oleh publik.

Untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka, perlu diatur beberapa aspek yaitu (1) hak untuk melihat informasi, (2) hak untuk menghadiri pertemuan publik, (3) hak untuk mengetahui, (4) hak untuk mendapatkan salinan informasi, (5) hak untuk diberitahu atau diinformasikan mengenai sesuatu hal dan (6) hak untuk menyebarluaskan informasi.

Agar dapat memberikan jaminan hukum untuk kebebasan memperoleh informasi akan bagus bila diatur Sanksi Pidana penjara serta denda bagi setiap orang yang dengan sengaja atau karena kealpaannya tidak memenuhi panggilan, menghalang-halangi pemeriksaan, memberikan keterangan palsu, menghancurkan informasi sehingga tidak dapat dipakai lagi, membuat informasi yang tidak benar sehingga menyesatkan, disamping itu juga perlu diberikan sanksi kepada pejabat publik yang tidak mengikuti kewajibannya untuk mendokumentasikan informasi sesuai dengan kewajibannya, tidak menginformasikan tentang potensi bencana yang akan terjadi atau keharusan bertindak menurut langkah-langkah tertentu pada saat-saat yang mendesak. (SR)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda