Kamis, 20 September 2007

POLITIK, KEBIJAKAN & KRISIS MINYAK INDONESIA

Oleh

Syafuan Rozi

(Peneliti P2P LIPI Jakarta)

Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (Penguin, 1992), menganggap Liberal democracy dan free market capitalism sebagai bentuk pemerintahan paling memuaskan (the most fundamentally satisfying form of government) dan sebagai satu-satunya cara mengelola ekonomi terbaik (the best method of organising the economy). Keduanya merupakan represents the final stage of human government. Semua idologi pesaingnya akan kalah (All competing ideologies will fall in its wake). Menanggapi gagasan yang paralel dengan itu, bisa jadi gelombang demokrasi sudah cukup baik untuk RI, dengan indikasi ada pergiliran kekuasaan lewat pemilihan presiden dan Pilkada langsung di negeri kita. Demokrasi liberal telah menang mendukung bahwa makna rakyat lah yang sekarang berdaulat, bukan hukum besi oligarkhi partai atau Personal ruler yang mutlak seperti era lalu. Idealnya pemerintahan SBY-JK yang dipilih demokratis langsung pun bisa memenuhi tesis Fukuyama tersebut, yaitu menghasilkan pengelolaan ekonomi pasar yang sehat (the best method of organising the economy) agar terjadi cara mengelola ekonomi terbaik . Jika tidak, tentu ada yang salah atau gagal dalam tata kelola-nya ? Jadikan Pertamina Punya Kompetitor.

Membuat Kompetitor Pertamina

Namun free market capitalism yang dibayangkan Fukuyama sangat positif itu, -walaupun sadar ada yang pihak tidak setuju- belum berjalan dengan baik di negeri kita untuk bidang perminyakan. Belum ada free market capitalism sektor energi ‘emas hitam’ ini, yang adalah praktik Monopoli oleh Pertamina. Untuk sektor telekomunikasi, persaingan pasar (liberalisasi, privatisasi, swastinisasi telekomunikasi) ternyata cenderung berdampak positif untuk konsumen.

Bangsa kita dewasa ini bisa mendapatkan pulsa telepon yang begitu bersaing dan murah. Hal itu berawal ketika Telkom tidak lagi boleh sendirian memegang monopoli bidang telekomunikasi.(dulu instansi Perjan Pos & Telekomunikasi). Adanya Telkomsel, Indosat (Satelindo), Bakrie-Group Esia, dan operator lainnya, telah menjadikan mereka bersaing untuk menjadi produsen termurah dengan pelayanan terbaik. Bagaimana dengan bidang energi di Indonesia. Hal ini juga perlu dilakukan. Minyak (BBM) sama halnya dengan produk telekomunikasi, ada sektor penting yang dibutuhkan oleh orang banyak (Public goods), sudah saatnya perlu dikelola secara kompetitif.

Kebijakan politik energi kita di Indonesia masih melindungi Pertamina menjadi satu-satunya pemegang monopoli bidang perminyakan. Akibatnya kecenderungan pengadaan dan distribusi minyak di Indonesia, nasibnya hampir sama ketika Telkom menjadi pengelola telekomunikasi satu-satunya. Harga cenderung naik, kuantitas tidak mencukupi. Ada apa dengan cara kerja Pertamina?

Pertamina sudah masuk ke pasar global –free market – di luar negeri (dan tidak di dalam negeri) dan mulai melupakan pasal “Bumi Air dan Kekayaan yang terkandung di dalamya, dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ada anggapan yang terjadi di Indonesia adalah “…Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (minyak) dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran pihak production sharing/perusahaan minyak asing dan anak perusahaan Pertamina yang di dalamnya”. Pertamina telah menjadi Komprador-dalam istilah Yushiro Kunio. Seolah telah menjadi ‘pihak lokal’ untuk kepentingan asing dan dirinya sendiri.

Mari kita tinjau kontrak karya Pertamina dengan pihak production sharing perusahaan/pihak mana yang dapat keuntungan dengan terbatasnya penggalian sumur minyak baru di Indonesia, bagaimana pengadaan/sewa kapal Tanker, siapa yang dapat keuntungan ketika pengilangan minyak mentah kita dilakukan di luar negeri. Ilmu politik yang diajarkan Harold Laswell mengingatkan kami Ilmuwan Politik untuk jeli melihat Siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana?. Pihak mana yang akan mendapat keuntungan ketika minyak mentah terbatas kita miliki, adalah jelas pihak asing tempat kita membeli. Ketika harus dikilang diluar dalam biaya Dollar, ada pula pihak kontraktor dan spekulan mata uang yang meraih untung ketika rupiah melemah.

Jika ingin harga BBM stabil dan menurun di masa mendatang, BBM harus diproduksi dalam rupiah. Caranya stop beli minyak mentah, stop kilang diluar. Tambah sumur minyak baru dan tambah kilang dalam negeri yang dibuat oleh tenaga Indonesia yang bersedia digaji dengan uang Rupiah. Dalam hal ini pengadaan minyak ini, melihat kasus Pertamina, seolah semangat nasionalisme kita telah luntur dan habis. Hampir semua prosesnya terlalu terkait dengan kepentingan pihak asing. Belum lagi kita menyadari politik global energi Amerika yang sengaja menimbun ladang minyaknya di Alaska untuk tidak digali, hingga suatu saat cadangan minyak negeri lain habis dan kita benar-benar harus membeli minyak dalam dollar ke Negeri Paman Sam tersebut.

Mencari dan Menambang Cara Baru?

Posisi Pertamina yang dulunya bernama Pertamin ini, sudah mulai relatif bergeser dari dulunya perusahan pertambangan yang mencari sumur minyak, sekarang sudah mulai menjadi pedagang minyak. Pertamina membeli minyak mentah dari luar negeri dalam ongkos Dollar untuk dijual lagi dalam Rupiah. Sehingga prosesnya harus ada subsidi. Mengapa jadi begini? Negeri yang dulu kita banggakan sebagai anggota OPEC (Pengekspor Minyak) , ternyata sudah harus keluar dari keanggotaannya itu dan tidak pernah ada declare resmi untuk itu. Kita semua diam-diam saja.

Ada pula argumen bahwa untuk mencari sumur minyak baru itu mahal dan berisko gagal. Itu bisa jadi kalau teknologi yang dipergunakan dengan teknik pengeboran manual. Peneliti Bidang Biologi LIPI di Bogor, sedang mengembangkan pencarian kandungan minyak dalam kulit bumi dengan indikator bakteri pemakan minyak yang diberi illumination semacam phosphor, sehingga bisa dideteksi dari foto satelit infra merah tentang perkembang biakannya. Jika di bawah permukaan mengandung banyak minyak, maka perkembang biakan bakteri itu sangat meluas. Mudah-mudahan tidak ada alasan bagi Pertamina untuk membeli minyak mentah dari luar karena kesulitan mencari sumur minyak baru.

Menambah Kilang Minyak Baru?

Sebuah kilang minyak adalah pabrik proses industri di mana minyak mentah diproses dan dimurnikan menjadi produk petroleum berguna. Minyak mentah dipisahkan menjadi pecahan-pecahan dengan distilasi fraksional (penyulingan pecahan). Pecahan pendorong, yang timbul dari bawah lajur pemecahan seringkali diuraikan (retak) untuk membuat produk yang lebih berguna. Hidrokarbon adalah susunan molekul-molekul berbeda panjang dan kerumitan terbuat dari hidrogen dan karbon. Strukturnya yang bermacam-macam memberikan mereka ciri-ciri dan fungsi berbeda. Kelihaian dalam proses pengilangan minyak adalah memisahkan dan memurnikan ini. Semua hidrokarbon yang berbeda ini memiliki titik didih yang berbeda, yang berarti mereka dapat dipisahkan dengan distilasi/penyulingan.

Sewaktu masih di Senat Mahasiswa UI, rekan mahasiswa dari jurusan GP (Gas & Petrokimia) FT UI waktu itu mengeluhkan mereka belajar tentang bagaimana membangun instalasi kilang minyak tapi tidak banyak kilang minyak baru bisa dibuat di negeri kita. Ada kepentingan yang tertanama kuat untuk menahan laju penambahan kilang minyak dalam negeri. Ada gejala pihak tertentu mendominasi agar kita suatu saat membeli minyak mentah dan mengilangnya di luar negeri. Faktanya kejadian sekarang ini. Negeri kita bukan lagi penghasil minyak, tapi sudah pengimpor, dan Pertaminanya sudah menjadi ”pedagang” bukan lagi penambang. Untuk itu Pertamina perlu mendapatkan kompetitor agar kinerjanya membaik seperti halnya bidang telekomunikasi.

Kilang Domestik Perlu

Setelah ”berkampanye” lama di depan kelas Ilmu Sosial Dasar di FMIPA UI dan IISIP Jakarta, serta melempar wacana dengan teman dulu yang sekarang menjadi insan pers, akhirnya ada khabar baik buat saya berkaitan dengan cara mengelola kenaikan harga BBM di negeri kita.. Wapres Jusuf Kalla menginstruksikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro untuk mengkaji penggunaan kilang minyak Indonesia untuk pengolahan minyak produksi dalam negeri. Hal itu sebagai upaya penghematan biaya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Sejauhmana kemungkinan kita bisa memanfaatkan minyak mentah yang diproduksi Indonesia itu bisa masuk ke kilang kita (Kamis 8/9, 2005). Baru ketahuan ternyata kapasitas dan jumlah kilang minyak kita tidak sebanding dengan pemakaian energi di dalam negeri dan untuk keperluan ekspor dalam rangka pemasukan APBN.

Direktur Jenderal Migas, Iin Arifin Takhyan; Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ari Sumarno; serta Direktur Pengelolaan Pertamina, Suroso dan Menteri Purnomo akhirnya memikirkan alternatif agar masuknya minyak mentah produksi Indonesia ke kilang minyak di dalam negeri, dengan sendirinya akan mengurangi ekspor minyak mentah. Dengan pertimbangan agar bisa lebih ekonomis dan nantinya agar bisa menurunkan biaya pokok produksi BBM kita. Akhirnya mereka sadar juga. Dalam pertemuan dengan Wapres, Menteri Purnomo menjelaskan bahwa pihak Pertamina menyampaikan optimasi kilang serta prosedur yang berlaku selama ini dan langkah-langkah ke depannya agar nanti bisa meningkatkan pengolahan minyak mentah Indonesia di kilang domestik.. Berdasarkan laporan Pertamina terdapat dua kilang di Indonesia yang selama ini menggunakan minyak mentah impor yakni kilang Cilacap yang mempunyai kapasitas pengolahan 348.000 barel per hari dan kilang Balikpapan (256.000 barel per hari).

Untuk itu memang diperlukan fokus agar kedua kilang minyak tersebut agar dimungkinkan untuk juga bisa mengolah masuk minyak mentah produksi dalam negeri. Jika tidak kilang minyak baru dalam biaya rupiah dan tenaga murni anak negeri harus diprioritaskan untuk dibangun segera. DPR RI perlu melakukan rapat khusus untuk membuat pansus ”Penambahan Kilang Minyak Dalam Negeri Berbiaya Rupiah”, sebagai politik energi terbaik guna membela kepentingan publik dan mengambil hati konstituen yang telah memilhnya dalam Pemilu 1999 yang lalu.

Sementara itu Dirjen Migas, Iin Arifin telah menyebutkan bahwa dari produksi minyak mentah Indonesia pada tahun 2004 yang mencapai 1.096.000 barel per hari, yang masuk ke kilang domestik mencapai 593.600 barel per hari, di mana total pengolahan di kilang domestik mencapai 998.000 barel per hari. Minyak mentah impor yang dikelola di kilang domestik mencapai 404.500 barel per hari, sedangkan minyak mentah Indonesia yang diekspor mencapai 488.700 barel per hari.

Dengan mengolah minyak mentah dalam negeri di kilang sendiri, diharapkan ada penghematan dari biaya transportasi dan pemakaian dollar dibanding dengan mengilangnya di luar negeri. Untuk sewa tanker dan ongkos kilang. Dengan dikelolanya minyak mentah dalam negeri di kilang sendiri, maka ekspor akan berkurang sebesar 110.000 barel per hari. Tidak apa lah, dari pada kita mengalami krisis kelangkaan BBM di dalam negeri.

Menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ari Sumarno, minyak mentah tersebut akan diambil dari puluhan lapangan minyak yang ada di Indonesia. Pihak Pertamina sudah berbicara dengan perusahaan kontraktor bagi hasil atau production sharing (KPS). Mereka setuju minyaknya diambil oleh pemerintah selama berdasarkan harga pasar. Inilah indikasi bahwa negeri kita secara ekonomi politik belum meredeka seratus persen. Entah bagaimana mengakhiri kondisi dependency dan kooptasi tersebut. Perspektif nasionalis masih diperlukan ketika free market capitalism ternyata menyimpan agenda tersembunyi berupa politik energi global negara adidaya, misalnya.

Disebutkan pula bahwa minyak mentah yang akan diambil Pertamina untuk diolah di kilang di dalam negeri antara lain dari ladang minyak yang dikelola Medco, Caltex, dan Unicoal. Mengenai realisasinya, bila perencanaan dilakukan September 2005, maka implementasinya pada bulan November 2005. Suatu yang perlu koordinasi cepat berkaitan dengan perhitungan cadangan aman posokan minyak untuk dalam negeri. Jika Pertamina tidak mampu mengelolanya, memang tampaknya DPR perlu memutuskan agar perlu membuat kompetitor dalam pengelolaan minyak. Bisa dikelola oleh daerah, seperti yang diharapkan oleh Pemda Bojonegoro. Atau kita perlu membuat Kebijakan Memperlambat Globalisasi? Mana mungkin tiba-tiba Indonesia tidak membeli minyak dari luar atau berhenti mengekspor karena krisis minyak di dalam negeri.

Kita perlu sadar ada dampak buruk dari globalisasi ekonomi sekarang melanda kita. Krisis melambungnya harga minyak dunia mendekati 60 Dollar perbarel, akibat badai di Teluk Mexico mengingatkan kita untuk tidak terlalu senang hadir dalam konteks global. Meneg ESDM Purnomo Yusgiantoro perlu dikawal agar bisa menjalankan instruksi untuk mempercepat produksi dan pembangunan kilang-kilang minyak baru di Indonesia. Kilang-kilang yang harus dipercepat pembangunannya itu antara lain adalah Blok Cepu, Kilang di Madura, kilang LNG di sejumlah daerah dan kilang minyak Tuban. Mari lihat kinerja paket presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya. Begitu juga kinerja Kapolri untuk menyikat para pebisnis gelap yang membuat BBM langka dan melonjak di beberapa tempat.

Presiden SBY memang sedang dihadapkan pada buah simalakama. Sama dengan nasib presiden terdahulu, yang konon jatuh didemo, karena menaikan harga BBM. Wajar, namanya diplesetkan menjadi ’Selalu Bimbang Yach’ (SBY). Humor politik yang segar ketika kita dilanda panik. Pasalnya, memang, efek dari keputusan yang dihasilkan pasti berisiko besar. Ada yang menganggap biang terpuruknya rupiah adalah subsidi BBM yang terlalu tinggi dan menguras devisa. Kalau begitu jangan ragu untuk memproduksi BBM di dalam negeri, dalam rupiah agar tidak perlu ada subsidi akibat selisih kenaikan kurs dollar.

Di sisi lain, kalau SBY menaikkan BBM, dia akan mendapat serangan gencar dari kalangan akar rumput dan oposisi bayangan yang menyiapkan sirkulasi elit di waktu mendatang. Kalangan mahasiswa, grass root, Gus Dur, Megawati dll, mereka akan turun ambil bagian, walaupun mereka juga melakukan kebijakan yang sama di waktu yang lalu. Pihak yang pernah didemo, akan ikut mendemo dalam kebijakan yang sama. Kalau BBM dinaikkan pastinya popularitas SBY menurun, jika ia ingin maju untuk kedua kalinya dalam Pemilu mendatang ia sudah tidak populer lagi. Tekanan gelombang pengunjuk rasa akan meningkat akibat harga yang melambung, apalagi terkait dengan inflasi tahunan menjelang bulan puasa, idul fitri dan natal di akhir tahun. Kebijakan menaikan BBM tahun ini akan mengalami nasib Bad Luck Policy. Pasar akan bereaksi negatif dan nilai rupiah menaik terus.

Jika diambil opsi tersebut maka yang akan terjadi adalah efek domino. Sekenario buruknya, harga-harga ikut naik. Masyarakat semakin susah. Memang sudah lama kita tak melihat Gus Dur dengan Megawati duduk satu meja di Ciganjur, beberapa waktu lalu. Ini sudah dua oposan yang kumpul, kalau nanti BBM jadi naik, bukan tak mungkin Amien Rais, Wiranto ikut berkumpul. Kemungkinan akan ada kelompok Ciganjur versi sekian. Karena mereka punya kaki di parlemen. Bisa jadi kemudian ada pengelompokan di parlemen yang semula mendukung kenaikan BBM akibat kondisi lapangan yang memburuk berbalik arah. Mereka mungkin akan membawa isu BBM ini menjadi krusial. Belum lagi tekanan dari kelompok mahasiswa dll.Akan tetapi, ada juga opsi ketiga. Yudhoyono mungkin akan merasa bahwa kenaikan BBM sekarang itu sangat tak mungkin. Karena kalaupun dinaikkan sekarang harus tinggi sekali, mengikuti harga minyak dunia. Kalau hanya dinaikkan sedikit-sedikit saja, itu percuma, sebab tetap menguras cadangan devisa negara.Dia merasa, itu akan menyulitkan rakyat banyak. Belum lagi di depan sudah menanti Lebaran, Natal, dan tahun baru. Jika persoalannya sangat politis, apa masalah menjadi selesai. Sebaiknya penelitian tentang Fuel Cell (Sel Tunam) yang mampu mengolah air sebagai bahan bakar, atau mengolah bio-diesel dari minyak kelapa sawit, atau memproduksi metan/alkhol dari pohon Nira Aren perlu lakukan secara kongkrit. Untuk itu kerjasama ilmuwan teknik konversi energi dan teknik mesin sangat dibutuhkan sekarang ini. Negara sedang memanggil Anda atau kita bermimpi Pertamina punya kompetitor?. (sr)


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda