Kamis, 20 September 2007

Jinakkan Korupsi Sekarang Juga

Sejak 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mencanangkan 9 Desember sebagai Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia, ditandai dengan disahkannya United Nation Convention Against Corruption. Ini merupakan suatu langkah spektakuler dari masyarakat dunia, yang kian menyadari begitu berbahayanya korupsi bagi stabilitas pemerintahan dengan segala aspeknya di masing-masing negara.

Tepat setahun kemudian Indonesia mengambil langkah serupa, ditandai dengan ditandatanganinya naskah kerjasama antara Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan Gubernur seluruh Indonesia. Pada saat yang bersamaan Presiden SBY juga menandatangani Instruksi Presiden RI No.5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Namun apakah naskah kerjasama dan Inpres tersebut sudah cukup ampuh mengatasi permasalahan korupsi di Indonesia?

Pencanangan tahun 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi, juga menjadi perhatian Drs. Syafuan Rozi, M.Si.

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI ini, mendefinisikan korupsi sebagai tindakan mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.

Sementara dari perspektif orang awam dengan lugas mengatakan bahwa menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi.

Menghilangkan korupsi di negeri kita bukanlah perkara gampang karena ia telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana. Tidak semua orang rela jalan pintasnya untuk kaya diungkit-ungkit. Adalagi yang menjelaskan mereka korupsi kecil-kecilan karena terpaksa oleh keadaan. Gaji kecil yang tidak mencukupi untuk hidup yang layak dari bulan ke bulan menjadi alasan untuk membenamkan diri. Apalagi kalau hampir semua orang di tempat itu telah menganggap korupsi sebagai hal biasa. Tahu sama tahu, untuk tidak mengatakan bahwa atasan mereka juga melakukan hal yang sama.

Kerakusan dan membiarkan perilaku korupsi, menurut Rozi, ibarat seperti seseorang yang menunggang macan (ingat riding the tiger- sebuah judul film dokumenter dari Australia yang dibuat -Curtis levy dan Christine Olson, jika ia turun bisa saja ia dicakar si raja hutan. Sebaliknya bila diteruskan, mungkin saja ia tak akan bisa mengendalikannya sampai tersungkur ke dalam jurang yang dalam). Orang yang rakus dan korup itu akan berada di atas sebuah perkembangan kehidupan yang bisa jahat terhadap dirinya.

Untuk mengatasi persoalan korupsi ini upaya kultural dan struktural dapat dilakukan yaitu dengan mensosialisasikan nilai baru bahwa korupsi merupakan sebuah tindakan yang beresiko tinggi. Untuk itu secara struktural, Rozi merinci beberapa tindakan yang dapat dilakukan, diantaranya perlu upaya memberdayakan komisi pemeriksaan kekayaan, membangun sistem pencegah dini korupsi, pelaksanaan UU Anti Korupsi yang konsisten, memberikan jaminan hidup yang layak bagi pegawai, sistem pembuktian terbalik, pengumuman dan audit kekayaan pejabat sebelum dan sesudah bertugas, membuat iklan anti korupsi di media massa dan produk-produk yang dikonsumsi semua orang. (TQ)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda